Dear kawan,
Jumat petang kemaren sepulang kantor, aku mendapat laporan bahwa Hanni (6,5 tahun), anak kedua kami, sejak pulang sekolah batuk-batuk terus. Hanni memang sudah beberapa hari batuk, tapi tidak terlalu kerap sih, aku hanya memberinya obat-obat batuk biasa. Waktu kutengok ke kamar, ia memang mengeluh, tenggorokannya rasanya nggak enak, seperti ada sesuatunya, katanya. Napasnya juga agak berat, pendek-pendek, bahkan terdengar sedikit mengi. Hanni belum pernah seperti ini sebelumnya, tapi aku duga ia mungkin mengalami semacam serangan asma. Walaupun belum pernah seperti ini sebelumnya, aku tidak terlalu heran jika ia mengalaminya, soalnya kakaknya, Afan (12 th), juga punya riwayat asma ringan. Yah… keluarga kami dari garis keturunanku memang punya “bakat” alergi… hehe… (bakat kok alergi…. mbok bakat seni atau bisnis gitu lho…). Segera setelah sholat maghrib, kami bawa Hanni ke dokter anak langganan kami. Tanpa stetoskop-pun dokter sudah bisa mendengar suara wheezing dari pernafasannya yang menandakan adanya obstruksi pernafasan. Beliau menyarankan untuk “diasap” saja. “Diasap” adalah istilah untuk memberikan obat melalui nebulizer, karena obatnya nanti akan berbentuk seperti “asap” yang dihirup menggunakan semacam masker. Demikianlah, Hanni diasap dengan Combivent untuk satu dosis, dan alhamdulillah… setelah itu dia nampak sudah lega lagi. Selanjutnya dokter meresepkan beberapa obat untuk diminum di rumah. Ada yang berbentuk puyer, dan aku lihat komposisinya masih OK, hehe…. jadi ya aku belikan saja (tidak perlu takut dengan puyer… hehe).
Apakah penyakit asma itu?
Asma merupakan salah satu penyakit saluran nafas yang banyak dijumpai, baik pada anak-anak maupun dewasa. Kata asma (asthma) berasal dari bahasa Yunani yang berarti “terengah-engah”. Lebih dari 200 tahun yang lalu, Hippocrates menggunakan istilah asma untuk menggambarkan kejadian pernafasan yang pendek-pendek (shortness of breath). Sejak itu istilah asma sering digunakan untuk menggambarkan gangguan apa saja yang terkait dengan kesulitan bernafas, termasuk ada istilah asma kardiak dan asma bronkial.
Menurut National Asthma Education and Prevention Program (NAEPP) pada National Institute of Health (NIH) Amerika, asma (dalam hal ini asma bronkial) didefinisikan sebagai penyakit radang/inflamasi kronik pada paru, yang dikarakterisir oleh adanya :
(1) penyumbatan saluran nafas yang bersifat reversible (dapat balik), baik secara spontan maupun dengan pengobatan,
(2) peradangan pada jalan nafas, dan
(3) peningkatan respon jalan nafas terhadap berbagai rangsangan (hiper- responsivitas) (NAEPP, 1997).
Asma merupakan penyakit yang manifestasinya sangat bervariasi. Sekelompok pasien mungkin bebas dari serangan dalam jangka waktu lama dan hanya mengalami gejala jika mereka berolahraga atau terpapar alergen atau terinfeksi virus pada saluran pernafasannya. Pasien lain mungkin mengalami gejala yang terus-menerus atau serangan akut yang sering. Pola gejalanya juga berbeda antar satu pasien dengan pasien lainnya. Misalnya, seorang pasien mungkin mengalami batuk hanya pada malam hari, sedangkan pasien lain mengalami gejala dada sesak dan bersin-bersin baik siang maupun malam. Selain itu, dalam satu pasien sendiri, pola, frekuensi, dan intensitas gejala bisa bervariasi antar waktu ke waktu.
Separo dari semua kasus asma berkembang sejak masa kanak-kanak, sedangkan sepertiganya pada masa dewasa sebelum umur 40 tahun. Namun demikian, asma dapat dimulai pada segala usia, mempengaruhi pria dan wanita tanpa kecuali, dan bisa terjadi pada setiap orang pada segala etnis.
Apa penyebab asma?
Asma yang yang terjadi pada anak-anak sangat erat kaitannya dengan alergi. Kurang lebih 80% pasien asma memiliki riwayat alergi. Asma yang muncul pada saat dewasa dapat disebabkan oleh berbagai faktor, seperti : adanya sinusitis, polip hidung, sensitivitas terhadap aspirin atau obat-obat anti-inflamasi non steroid (AINS), atau mendapatkan picuan di tempat kerja. Di tempat-tempat kerja tertentu yang banyak terdapat agen-agen yang dapat terhirup seperti debu, bulu binatang, dll, banyak dijumpai orang yang menderita asma, yang disebut occupational asthma, yaitu asma yang disebabkan karena pekerjaan. Kelompok dengan resiko terbesar terhadap perkembangan asma adalah anak-anak yang mengidap alergi dan memiliki keluarga dengan riwayat asma. Banyak faktor yang dapat meningkatkan keparahan asma. Beberapa di antaranya adalah rinitis yang tidak diobati atau sinusitis, gangguan refluks gastroesofagal, sensitivitas terhadap aspirin, pemaparan terhadap senyawa sulfit atau obat golongan beta bloker, dan influenza, faktor mekanik, dan faktor psikis (misalnya stress).
Seperti apa terapinya ?
Karena manifestasi klinis asma bervariasi, ada yang ringan, sedang dan berat, maka pengobatannya harus disesuaikan dengan berat ringannya asma. Asma ringan mungkin cukup diobati pada saat serangan, tidak perlu terapi jangka panjang, sedangkan asma yang sedang sampai berat perlu dikontrol dengan pengobatan jangka panjang untuk mencegah serangan berikutnya. Secara umum, terapi bisa dilakukan secara non obat (non-farmakologi) dan dengan obat.
Terapi non-farmakologi
Terapi non-farmakologi meliputi 2 komponen utama, yaitu edukasi pada pasien atau yang merawat mengenai berbagai hal tentang asma, dan kontrol terhadap faktor-faktor pemicu serangan. Berbagai pemicu serangan antara lain adalah debu, polusi, merokok, olah raga, perubahan temperatur secara ekstrim, dll., termasuk penyakit-penyakit yang sering mempengaruhi kejadian asma, seperti rinitis, sinusitis, gastro esophagal refluks disease (GERD), dan infeksi virus. Untuk memastikan macam alergen pemicu serangan pasien, maka direkomendasikan untuk mengetahui riwayat kesehatan pasien serta uji kulit (skin test). Jika penyebab serangan sudah diidentifikasi, pasien perlu diedukasi mengenai berbagai cara mencegah dan mengatasi diri dalam serangan asma. Edukasi kepada pasien juga meliputi pengetahuan tentang patogenesis asma, bagaimana mengenal pemicu asmanya dan mengenal tanda-tanda awal keparahan gejala, cara penggunaan obat yang tepat, dan bagaimana memonitor fungsi paru-parunya. Selain itu juga dapat dilakukan fisioterapi napas (senam asma), vibrasi dan atau perkusi toraks, dan batuk yang efisien.
Terapi farmakologi
Asma merupakan penyakit kronis, sehingga membutuhkan pengobatan yang perlu dilakukan secara teratur untuk mencegah kekambuhan. Berdasarkan penggunaannya, maka obat asma terbagi dalam dua golongan yaitu pengobatan jangka panjang untuk mengontrol gejala asma, dan pengobatan cepat (quick-relief medication) untuk mengatasi serangan akut asma. Beberapa obat yang digunakan untuk pengobatan jangka panjang antara lain inhalasi steroid, beta2 agonis aksi panjang, sodium kromoglikat atau kromolin, nedokromil, modifier leukotrien, dan golongan metil ksantin. Sedangkan untuk pengobatan cepat sering digunakan suatu bronkodilator (beta2 agonis aksi cepat, antikolinergik, metilksantin), dan kortikosteroid oral (sistemik).
Obat-obat asma dapat dijumpai dalam bentuk oral, larutan nebulizer, dan metered-dose inhaler (MDI). Contoh obat yang digunakan untuk terapi jangka panjang adalah inhalasi kombinasi budesonide dan formoterol (contoh: Symbicort), kombinasi salmeterol dan flutikason (contoh : Seretide), dan budesonide tunggal (contoh: Pulmicort). Obat ini aman dipakai jangka panjang untuk mengontrol asma yang berat. Obat lain yang diindikasikan untuk pencegahan asma adalah ketotifen (suatu anti alergi), teofilin lepas lambat, dan sodium kromoglikat/nedokromil.
Sedangkan obat untuk melegakan serangan asma yang perlu aksi cepat adalah salbutamol, terbutalin, dan ipratropium bromide. Salbutamol merupakan beta agonis aksi cepat, dan banyak dijumpai dalam berbagai bentuk sediaan. Ada yang berbentuk tablet, sirup, atau inhalasi. Untuk mengatasi serangan asma, obat ini merupakan pilihan pertama. Salbutamol kadang dikombinasikan dengan ipratriopium bromide (contoh: Combivent) dalam bentuk inhalasi, yang di awal posting ini aku ceritakan untuk ”mengasap” Hanni. Injeksi aminofilin juga masih cukup banyak dipakai di RS untuk mengatasi serangan asma akut yang memerlukan aksi segera.
Idealnya, obat-obat untuk asma diberikan secara inhalasi, artinya dihirup. Bentuknya bisa suatu aerosol atau serbuk kering. Sekarang telah banyak berbagai merk obat inhalasi untuk asma. Bentuk inhalasi dapat diberikan menggunakan nebulizer (seperti yang aku ceritakan di awal posting ini), atau dengan menggunakan sediaan metered-dose inhaler (MDI).
Penggunaan MDI memerlukan teknik tersendiri, di mana diperlukan koordinasi yang pas antara tangan menekan dan mulut menghirup obat. Untuk itu, jika Anda mendapatkan obat bentuk ini, pastikan Anda benar menggunakannya. Tanyakan apoteker untuk cara penggunaan yang benar. Kalau salah menggunakan, maka tujuan terapi mungkin tidak tercapai. Sediaan ini masih agak mahal bagi kalangan masyarakat tertentu. Sehingga tidak heran juga jika sebagian masyarakat lebih memilih bentuk sediaan yang diminum. Ada beberapa merk obat bebas terbatas yang ditujukan untuk asma (Bricasma, Neo Napacin, Brondilex, Nitrasma, dll). Umumnya mereka berisi kombinasi teofilin dan efedrin. Secara teori dari evidence-based medicine, teofilin dan efedrin bukanlah pilihan pertama untuk melegakan asma. Tetapi boleh saja digunakan selama Anda memang mendapatkan manfaat dari obat ini. Jika tidak, pastikan keparahan asmanya melalui pemeriksaan yang tepat oleh dokter, dan gunakan obat-obat yang diresepkan.
Tulisan lebih rinci tentang asma dan penyakit pernafasan lainnya dapat dijumpai di buku Farmakoterapi Sistem Pernafasan terbitan Penerbit Pustaka Adipura tahun 2007. Silakan beli, berarti Anda menghargai karya apoteker, yaitu diriku sendiri hehe……..
Semoga bermanfaat….
komentar