Dear kawan,
Maafkan, blog-ku sudah agak lama melompong…… Dan saking lamanya tidak nulis, dan sudah ada beberapa hal yang tersimpan di kepala dan mau ditulis…. sampai bingung mau ngasih judul apa posting ini, hehe….. Akhirnya kukasih saja judul : Gado-gado…. karena isinya campuran berbagai hal..
Seminar tentang PPA
Seperti yang kuceritakan di posting sebelumnya, hari ini jadi juga aku menjadi pembicara di sebuah Seminar Regional yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Farmasi UII Yogyakarta (Thanks for inviting…Besok mesti ke UII lagi untuk menjadi reviewer proposal penelitian mahasiswa. Mudah-mudahan gak bosen lihat muka saya hehe…. ). Seminarnya sendiri cukup meriah dengan sekitar 200 orang yang hadir (menurut laporan Ketua Panitianya). Sebuah inisiatif yang bagus dari mahasiswa untuk memberi respon terhadap issue yang berkembang masyarakat !! Aku sangat menghargai. Subtansi masalahnya sendiri sudah aku tulis pada posting sebelum ini, yaitu tentang maraknya lagi isu bahaya PPA (Phenylpropanolamine) yang banyak dijumpai pada komposisi obat flu. Kesimpulannya, komposisi obat flu yang mengandung PPA cukup aman dipakai, selama masyarakat mengikuti aturan yang tertera dalam kemasannya. Apalagi dosis PPA dalam obat flu yang diijinkan beredar di Indonesia maksimal 15 mg/sekali minum, jauh lebih kecil dari dosis yang dilaporkan meningkatkan risiko stroke hemoragik di AS.
Pembicara yang profesional
Menjadi pembicara yang menarik dan profesional itu tidak mudah…. Apalagi untuk aku yang pada dasarnya pemalu (dan malu-maluin)…hehe. Dan ternyata ada trik dan kiat-kiatnya, bagaimana untuk bisa menyentuh hati atau menggelorakan pendengarnya, sehingga pesan yang kita bawakan sampai kepada sasarannya. Bagaimana menggunakan vokal yang jelas, menyihir hadirin dengan kata-kata yang powerful, berbicara secara sistematis dan terstruktur, membangun image yang kuat lewat tindakan dan bahasa tubuh, bagaimana mengatasi gangguan saat di panggung, dll. Wow….. tidak gampang! Semua ini bisa dibaca pada buku Talk-inc Points yang disusun oleh Erwin Parengkuan dkk. Terimakasih untuk mas Lutfi yang menghadiahi aku buku ini tadi pagi dalam seminar hehe……. Oya, mas Lutfi ini adalah MC pada seminar tadi pagi, dan beliau adalah MC profesional (sekaligus mengaku sebagai pembaca setia blog ini hehe….). Aku jadi merasa tersanjung….
Dhika
Siangnya selesai berbicara di seminar aku menjemput Dhika di Play group-nya. Mestinya Dhika hari ini menjadi “model” untuk pelatihan terapi okupasi bagi beberapa tenaga kesehatan terkait. Awalnya Dhika asyik saja masuk dan main di ruang bermain, tetapi ketika mulai banyak orang, ia mulai merasa “terancam”, dan tidak mau masuk ke ruang bermain tempat terapi okupasi dilaksanakan. Jadi batal deh…..
Oya, alhamdulillah, Dhika sudah mulai nambah kata-kata. Sekarang sedang suka menyanyi lagu “Naik Kereta Api”… ia sudah mau menirukan beberapa kata-kata. Mudah-mudahan saja Dhika akan semakin bertambah kemampuannya dan dapat mengejar ketertinggalannya…. Mohon doanya, ya.
Obat setelan
Wah, topik bahasannya kok aneh ya… meloncat-loncat. Tapi memang itulah yang kualami hari ini. Sore sehabis mandi tak sengaja aku melongok TV, yang ternyata sedang menayangkan suatu program investigasi mengenai “kurangnya pelayanan apoteker”, yang bahkan cenderung “sembrono”. Aduuh, aku jadi langsung terhenyak…… Begitukah pandangan umum terhadap profesi apoteker? Padahal tadi pagi aku masih berjumpa dengan calon-calon apoteker yang penuh idealisme dan semangat tinggi. Salah satu kajiannya adalah maraknya penjualan obat setelan, di mana masyarakat bisa membeli secara bebas.
Wah, aku sendiri malah baru dengar istilah obat setelan. Kurang piknik nih. Yang dimaksud obat setelan adalah paket kombinasi beberapa obat yang sudah diset untuk suatu gangguan penyakit tertentu, utamanya gangguan-gangguan ringan, seperti sakit gigi, rematik, batuk pilek, dll. Di situ ditayangkan kemasan-kemasan plastik yang berisi beberapa obat berbeda untuk suatu penyakit. Misalnya untuk rematik ada piroksikam dan deksametason, untuk demam, batuk pilek ada tablet gliseril guaikolat, dekstrometorfan, CTM, dan parasetamol. Nah… masalahnya…… obat-obat itu ada yang mestinya harus dengan resep dokter.
Selain itu, dalam tayangan tadi juga menyoroti apoteker ikut-ikut mendiagnosa, yang semestinya adalah tugas dokter, demikian yang dinyatakan dalam narasi tayangan tersebut.
Well…… kalau ada apotek yang dengan mudah menjual obat yang mestinya dengan resep, tanpa informasi apa-apa dari apoteknya (apoteker atau asistennya), aku turut menyayangkan. Sungguh dilematis memang buat sejawat di lapangan. Kalau nggak seperti itu, mungkin income apotek kurang dan tak bisa hidup layak. Untungnya aku tidak pegang apotek hehe… jadi bisa ngomong begini. Tapi paling tidak, untuk mengurangi “dosa-dosa” itu, berikanlah informasi sejelas-jelasnya mengenai pemakaian obat tersebut.
Apoteker “mendiagnosa”?….
Untuk penyakit-penyakit ringan (minor illness) dan dapat menggunakan obat-obat tanpa resep (OTC) menurutku sah-sah saja. Ketika seorang datang mencari obat rematik misalnya, tentu jangan asal diambilkan obat saja, tapi sebaiknya ditanyakan mengenai riwayat penyakit pasien, apakah dia juga punya penyakit maag misalnya, atau asma, karena penggunaan obat-obat anti radang semacam piroksikam, diklofenak, dll dapat meningkatkan keparahan sakit maagnya atau asmanya. Jadi sebenarnya bukan “mendiagnosa” ya, seperti disampaikan dalam narasi tayangan di TV, tapi lebih untuk memastikan keadaan pasien sehingga apoteker bisa memilihkan obat yang tepat. Idealnya demikian…..
Narasi pada tayangan di TV seringkali kurang tepat dan cenderung tendensius, yang kadang terdengar berlebihan. Mungkin karena kurangnya pemahaman mengenai masalah sebenarnya. Istilah apoteker mendiagnosa akan menggiring pada “membuka kapak peperangan” dengan sejawat dokter, sama dengan ketika apoteker mendengar bahwa ada dokter melakukan “dispensing”. Mudah-mudahan tidak terjadi kesalahpahaman antar profesi yang semestinya justru bekerja sama demi kesembuhan pasien.
Buat sejawat apoteker di lapangan, sekarang masyarakat semakin kritis dan pintar. Bangunlah image positif bagi profesi apoteker, apalagi sekarang banyak stasiun TV yang suka mencari berita-berita sensasional, dengan kamera tersembunyi, yang kadang akan menjadi berita yang seringkali kurang proporsional dan memojokkan.
Tapi sebenarnya kalau kita kembalikan pada diri kita, untuk apa sejatinya manusia diciptakan…… apapun yang kita lakukan, pasti ada kamera yang menyorot, yaitu kamera Malaikat Roqib dan Atid… yang akan mendokumentasikan semua apa-apa yang kita lakukan, menjadi catatan amal baik dan buruk, dan menjadi laporan kepada Allah. Mengapa kita tidak berangkat dari situ untuk menjalani profesi masing-masing dengan hati nurani?
Wah, kayak gado-gado kan cerita hari ini?
Tapi gado-gado enak juga, menyehatkan……