Gado-gado

25 04 2009

Dear kawan,
Maafkan, blog-ku sudah agak lama melompong…… Dan saking lamanya tidak nulis, dan sudah ada beberapa hal yang tersimpan di kepala dan mau ditulis…. sampai bingung mau ngasih judul apa posting ini, hehe….. Akhirnya kukasih saja judul : Gado-gado…. karena isinya campuran berbagai hal..

Seminar tentang PPA
Seperti yang kuceritakan di posting sebelumnya, hari ini jadi juga aku menjadi pembicara di sebuah Seminar Regional yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Farmasi UII Yogyakarta (Thanks for inviting…Besok mesti ke UII lagi untuk menjadi reviewer proposal penelitian mahasiswa. Mudah-mudahan gak bosen lihat muka saya hehe…. ). Seminarnya sendiri cukup meriah dengan sekitar 200 orang yang hadir (menurut laporan Ketua Panitianya). Sebuah inisiatif yang bagus dari mahasiswa untuk memberi respon terhadap issue yang berkembang masyarakat !! Aku sangat menghargai. Subtansi masalahnya sendiri sudah aku tulis pada posting sebelum ini, yaitu tentang maraknya lagi isu bahaya PPA (Phenylpropanolamine) yang banyak dijumpai pada komposisi obat flu. Kesimpulannya, komposisi obat flu yang mengandung PPA cukup aman dipakai, selama masyarakat mengikuti aturan yang tertera dalam kemasannya. Apalagi dosis PPA dalam obat flu yang diijinkan beredar di Indonesia maksimal 15 mg/sekali minum, jauh lebih kecil dari dosis yang dilaporkan meningkatkan risiko stroke hemoragik di AS.

Pembicara yang profesional
Menjadi pembicara yang menarik dan profesional itu tidak mudah…. Apalagi untuk aku yang pada dasarnya pemalu (dan malu-maluin)…hehe. Dan ternyata ada trik dan kiat-kiatnya, bagaimana untuk bisa menyentuh hati atau menggelorakan pendengarnya, sehingga pesan yang kita bawakan sampai kepada sasarannya. Bagaimana menggunakan vokal yang jelas, menyihir hadirin dengan kata-kata yang powerful, berbicara secara sistematis dan terstruktur, membangun image yang kuat lewat tindakan dan bahasa tubuh, bagaimana mengatasi gangguan saat di panggung, dll. Wow….. tidak gampang! Semua ini bisa dibaca pada buku Talk-inc Points yang disusun oleh Erwin Parengkuan dkk. Terimakasih untuk mas Lutfi yang menghadiahi aku buku ini tadi pagi dalam seminar hehe……. Oya, mas Lutfi ini adalah MC pada seminar tadi pagi, dan beliau adalah MC profesional (sekaligus mengaku sebagai pembaca setia blog ini hehe….). Aku jadi merasa tersanjung….

Dhika
Siangnya selesai berbicara di seminar aku menjemput Dhika di Play group-nya. Mestinya Dhika hari ini menjadi “model” untuk pelatihan terapi okupasi bagi beberapa tenaga kesehatan terkait. Awalnya Dhika asyik saja masuk dan main di ruang bermain, tetapi ketika mulai banyak orang, ia mulai merasa “terancam”, dan tidak mau masuk ke ruang bermain tempat terapi okupasi dilaksanakan. Jadi batal deh…..
Oya, alhamdulillah, Dhika sudah mulai nambah kata-kata. Sekarang sedang suka menyanyi lagu “Naik Kereta Api”… ia sudah mau menirukan beberapa kata-kata. Mudah-mudahan saja Dhika akan semakin bertambah kemampuannya dan dapat mengejar ketertinggalannya…. Mohon doanya, ya.

Obat setelan
Wah, topik bahasannya kok aneh ya… meloncat-loncat. Tapi memang itulah yang kualami hari ini. Sore sehabis mandi tak sengaja aku melongok TV, yang ternyata sedang menayangkan suatu program investigasi mengenai “kurangnya pelayanan apoteker”, yang bahkan cenderung “sembrono”. Aduuh, aku jadi langsung terhenyak…… Begitukah pandangan umum terhadap profesi apoteker? Padahal tadi pagi aku masih berjumpa dengan calon-calon apoteker yang penuh idealisme dan semangat tinggi. Salah satu kajiannya adalah maraknya penjualan obat setelan, di mana masyarakat bisa membeli secara bebas.

Wah, aku sendiri malah baru dengar istilah obat setelan. Kurang piknik nih. Yang dimaksud obat setelan adalah paket kombinasi beberapa obat yang sudah diset untuk suatu gangguan penyakit tertentu, utamanya gangguan-gangguan ringan, seperti sakit gigi, rematik, batuk pilek, dll. Di situ ditayangkan kemasan-kemasan plastik yang berisi beberapa obat berbeda untuk suatu penyakit. Misalnya untuk rematik ada piroksikam dan deksametason, untuk demam, batuk pilek ada tablet gliseril guaikolat, dekstrometorfan, CTM, dan parasetamol. Nah… masalahnya…… obat-obat itu ada yang mestinya harus dengan resep dokter.
Selain itu, dalam tayangan tadi juga menyoroti apoteker ikut-ikut mendiagnosa, yang semestinya adalah tugas dokter, demikian yang dinyatakan dalam narasi tayangan tersebut.

Well…… kalau ada apotek yang dengan mudah menjual obat yang mestinya dengan resep, tanpa informasi apa-apa dari apoteknya (apoteker atau asistennya), aku turut menyayangkan. Sungguh dilematis memang buat sejawat di lapangan. Kalau nggak seperti itu, mungkin income apotek kurang dan tak bisa hidup layak. Untungnya aku tidak pegang apotek hehe… jadi bisa ngomong begini. Tapi paling tidak, untuk mengurangi “dosa-dosa” itu, berikanlah informasi sejelas-jelasnya mengenai pemakaian obat tersebut.
Apoteker “mendiagnosa”?….
Untuk penyakit-penyakit ringan (minor illness) dan dapat menggunakan obat-obat tanpa resep (OTC) menurutku sah-sah saja. Ketika seorang datang mencari obat rematik misalnya, tentu jangan asal diambilkan obat saja, tapi sebaiknya ditanyakan mengenai riwayat penyakit pasien, apakah dia juga punya penyakit maag misalnya, atau asma, karena penggunaan obat-obat anti radang semacam piroksikam, diklofenak, dll dapat meningkatkan keparahan sakit maagnya atau asmanya. Jadi sebenarnya bukan “mendiagnosa” ya, seperti disampaikan dalam narasi tayangan di TV, tapi lebih untuk memastikan keadaan pasien sehingga apoteker bisa memilihkan obat yang tepat. Idealnya demikian…..

Narasi pada tayangan di TV seringkali kurang tepat dan cenderung tendensius, yang kadang terdengar berlebihan. Mungkin karena kurangnya pemahaman mengenai masalah sebenarnya. Istilah apoteker mendiagnosa akan menggiring pada “membuka kapak peperangan” dengan sejawat dokter, sama dengan ketika apoteker mendengar bahwa ada dokter melakukan “dispensing”. Mudah-mudahan tidak terjadi kesalahpahaman antar profesi yang semestinya justru bekerja sama demi kesembuhan pasien.

Buat sejawat apoteker di lapangan, sekarang masyarakat semakin kritis dan pintar. Bangunlah image positif bagi profesi apoteker, apalagi sekarang banyak stasiun TV yang suka mencari berita-berita sensasional, dengan kamera tersembunyi, yang kadang akan menjadi berita yang seringkali kurang proporsional dan memojokkan.
Tapi sebenarnya kalau kita kembalikan pada diri kita, untuk apa sejatinya manusia diciptakan…… apapun yang kita lakukan, pasti ada kamera yang menyorot, yaitu kamera Malaikat Roqib dan Atid… yang akan mendokumentasikan semua apa-apa yang kita lakukan, menjadi catatan amal baik dan buruk, dan menjadi laporan kepada Allah. Mengapa kita tidak berangkat dari situ untuk menjalani profesi masing-masing dengan hati nurani?

Wah, kayak gado-gado kan cerita hari ini?
Tapi gado-gado enak juga, menyehatkan……





Puyer, si kambing hitam

20 02 2009

puyer

Hari Jumat ini aku working at home…. sejak kemaren Dhika demam. Pagi ini sudah mending, tapi masih sedikit anget dan lesu. Aku tak tega meninggalkannya. Untungnya hari ini tidak ada aktivitas sangat penting, cuma kuliah saja nanti sore jam 15.30an.

Ketika aku bilang pada suami, dia bilang,” Lha… adik lagi mikirin apa?”. Menurutnya, demam Dhika ada hubungannya dengan pikiran orangtuanya. Kalau pikiran ibunya lagi kusut, anaknya bisa jadi demam…..

Hm.. aku mikir apa ya? Kayaknya sih tidak ada yang terlalu memberati. Yah, tapi memang aku harus lebih slow lagi…… santai. Memang ada beberapa hal harus diselesaikan dan disiapkan. Anyway, itu sudah konsekwensinya orang kerja, jadi nggak papa.

Tapi aku jadi trenyuh ….. Dhika kelihatan happy sekali aku di rumah. Aku dipeluknya terus nggak mau lepas. Maklum, badan lagi gak enak, mungkin, jadi manja. Sekarang dia lagi tidur, jadi aku bisa nulis-nulis sedikit, dan menge-mail dan YM-an kesana kemari untuk urusan pekerjaan. Tadi aku memberinya syrup parasetamol dan syrup untuk meningkatkan daya tahan tubuh. Nggak dikasih puyer ? hehe…..

Aku jadi ingat permintaan seorang kawan agar aku membahas tentang masalah puyer yang lagi heboh. Sebenernya sih sudah banyak yang membahas itu di banyak media, termasuk blog Apotekkita yang selalu menyampaikan pikiran-pikiran kritisnya. Tapi tak apalah, kali ini dengan versiku sendiri.

Puyer, ini istilah umum di masyarakat untuk bentuk sediaan serbuk obat dalam bungkusan-bungkusan kecil. Istilah dalam bidang farmasi adalah pulveres, yaitu serbuk bagi, yang dibagi-bagi dalam bungkusan-bungkusan. Aku belajar membuat sediaan pulveres di semester 3. Tentu ada tatacara pembuatannya, untuk menjamin obatnya aman. Kontroversi penggunaan puyer timbul karena kekhawatiran bahwa puyer tidak steril, berisiko dosis tidak tepat, reaksi campuran bermacam-macam obat, tidak sesuai dengan RUD (rational use of drugs) dan tidak sesuai dengan cara pembuatan obat yang baik (CPOB).

Begini kawan,….

Sediaan pulveres/puyer ini memang memungkinkan pencampuran berbagai obat dalam satu paket. Bentuk sediaan ini umumnya digunakan untuk anak-anak, yang masih sulit untuk menelan tablet atau kapsul. Mengapa dijadikan satu? Ini bertujuan untuk kepraktisan minum. Anak kecil kan susah minum obat, apalagi kalau obatnya macam-macam. Jadi lebih praktis dijadikan satu aja dalam bentuk puyer. Tetapi, bolehkah semua obat dicampur jadi satu dalam bentuk puyer ?

Tentu tidak. Pertama, masalah teknis pencampuran. Tidak semua obat  bisa kompatibel jika dijadikan satu paket. Untuk itu kami farmasis sudah mempelajari tentang inkompatibilitas obat-obat. Ada obat yang jika dicampurkan bersama membuat sediaannya jadi lembek karena adanya interaksi antar bahan. Atau warnanya berubah, dll. Jadi tentunya tidak sembarang obat bisa dicampur jadi satu puyer.

Yang kedua, masalah rasionalitas penggunaan. Nah, kalau yang ini…. memang perlu ada interaksi yang baik antara dokter sebagai penulis resep dan apoteker sebagai peracik obatnya (dispenser). Contoh gampang komposisi yang kurang rasional misalnya adalah seperti ini: antibiotika dicampur dengan obat turun panas. Mengapa? Antibiotika harus diminum sampai habis, misalnya 5 hari. Sedangkan obat turun panas cukup diminum jika perlu saja. Nah, kalau mereka digabung jadi satu puyer, maka bisa jadi obat turun panas akan diminum juga selama 5 hari barengan dengan antibiotika. Tentu ini tidak tepat. Disamping tidak diperlukan lagi, pemberian obat berlebihan juga meningkatkan risiko terjadinya efek samping atau toksisitas.

Untuk hal semacam ini, mestinya apoteker bisa menyampaikan ke pada penulis resep untuk bisa mengubah komposisi resepnya.Tinggal masalahnya, dokternya mau tidak. Apotekernya ada di tempat tidak? Apotekernya melakukan screening resep tidak? Ini baru satu contoh lho… mudah-mudahan tidak banyak kejadiannya.

Atau…. misalnya ada resep yang meminta apoteker membuat puyer dari obat-obat yang mestinya sustained-release, atau enteric coated. Obat sustained-release artinya obat tersebut sudah didisain oleh pabriknya untuk dilepaskan pelan-pelan dalam tubuh. Enteric-coated adalah sediaan yang disalut dan didisain sedemikian supaya ia nanti akan melepaskan obatnya di usus, bukan di lambung, karena mungkin obatnya bersifat mengiritasi lambung. Nah, obat bentuk kayak gini kok supaya digerus jadi puyer….. ya kan nggak bener, karena tujuan disain obat tadi tidak tercapai. Bisa jadi obat yang mestinya tidak terurai di lambung, karena digerus malah jadi mengiritasi lambung. Atau obat yang mestinya dilepas pelan-pelan jadi terlalu cepat dan kadarnya melebihi seharusnya. Nah, hal seperti ini pun mestinya bisa terbuka untuk diskusi bagi dokter penulis resep dan apoteker peracik obatnya.

Nah, yang ketiga tadi masalah kebersihan. Apoteker tentu sudah diajari untuk menjaga kebersihan mortir dan stamper untuk membuat puyer/pulveres agar tidak saling mengkontaminasi. Kalau perlu, satu apotek harus memiliki sekian banyak mortir dan stamper sesuai dengan load apoteknya. Jadi kalau masih ada puyer yang terkontaminasi, karena mortirnya gak pernah dibersihkan sebelum digunakan untuk meracik obat lain, itu pasti yang menyiapkan adalah oknum. Oknum farmasis atau asisten apoteker yang tidak menghargai profesinya sendiri. Kalau Anda mensinyalir ada apotek yang demikian, yang tinggal pindah ke apotek lain saja. Gitu aja kok repot…..

Yang keempat, masalah dosis yang tidak tepat. Apoteker juga sudah diajari untuk membagi serbuk dalam bungkusan-bungkusan supaya dosisnya seragam. Ada tata caranya. Jika itu obat keras, harus dibagi dengan penimbangan, dst. Jadi mestinya ini juga tidak perlu dikuatirkan.

Jadi menurut saya, kontroversi ini akarnya adalah human error. Puyer menjadi kambing hitam dari tenaga kesehatan yang tidak kompeten dan bertanggung-jawab dalam menjalankan tuganya. Puyernya sendiri tidak salah, selama diresepkan secara rasional, disiapkan dengan bersih dan penimbangan yang tepat. Jika katanya di banyak negara sudah mulai ditinggalkan, mungkin karena ada bentuk sediaan lain yang lebih pas untuk anak-anak. Misalnya untuk asma, bentuk inhaler lebih direkomendasikan. Tapi biasanya memang harganya lebih mahal.

Aku sendiri lebih sering memberikan bentuk sediaan sirup untuk anak-anak yang tersedia dalam bentuk tunggalnya, kecuali jika tidak tersedia di pasaran. Memang agak ribet, karena kadang harus memberikan beberapa jenis sirup secara terpisah. Tetapi menurutku lebih tepat dan sesuai keadaan si sakit. Jika suatu saat dokter meresepkan puyer untuk anakku, biasanya aku selalu cek resepnya dulu. Jika menurutku cukup pas komposisinya ya aku belikan, tapi kalau tidak, yah….. aku akan edit komposisinya sesuai kebutuhan.

Demikian lah…

Wah, Dhika sudah bangun nih…. sudah dulu ya.

Mohon doanya semoga cepet sembuh.





Farmasis klinik,… riwayatmu dulu dan eksistensimu sekarang

23 01 2009

Belum lagi sempat aku menulis sedikit pandanganku terhadap tulisan pada Blog mas Dani yang berjudul “Clinical Pharmacist make economic sense”, sudah muncul lagi tulisan berjudul “Siapa Bilang Apoteker Tidak Diperlukan?”, yang menurutku saling berkaitan…. (salut deh, Mas…  konsisten ber-posting. Aku sendiri belakangan agak kendor nih…. Maklum masih belajaran…).

Tulisan pertama agak khusus membicarakan tentang farmasis klinik. Mungkin buat temen-temen netter yang masih awam dengan istilah farmasis klinik, sedikit deh aku ceritakan. Istilah farmasi klinik mulai muncul di tahun 1960-an di Amerika, yaitu suatu penekanan pada fungsi apoteker yang bekerja langsung bersentuhan dengan pasien. Menurut ibu Koda-Kimble (salah satu perintis “gerakan” farmasi klinik, sekarang menjadi dekan pada School of Pharmacy University of California di San Francisco), praktek apoteker di sana pada saat itu (1960-an) bersifat stagnan. Pelayanan kesehatan sangat berpusat pada dokter. Kontak apoteker dengan pasien sangat minimal. Ada istilah yang digunakan beliau untuk menggambarkan lulusan farmasi pada saat itu yaitu : Over-educated, Underutilized, Apathetic, Isolated, Inferiority complex. Itu keadaan di Amerika tahun 1960-an. Lho…kok mirip seperti keadaan di Indonesia sekarang ya……. hehe.. pliss deh!… Mudah-mudahan enggak lah. Karenanya, ibu Koda-Kimble dan sejawatnya memunculkan suatu wacana baru untuk pekerjaan kefarmasian. Upaya-upaya awal yang akan dilakukan adalah:

u Focus on the Patient

Pharmaceutical centers

Patient record systems

OTC counter-prescribing

Counseling on prescription drugs

Emergence of continuing education

Therapeutic approach

Pathophysiology

Symptom management

Tapi saat itu wacana itu juga tidak mudah diterima. Mengapa? Belum ada role model!

Tapi beliau tidak mudah menyerah. Pada tahun 1965, beliau cs mengusulkan suatu proposal ke pimpinan rumah sakit sbb:

  • School will establish a staff “Drug Stations” on the hospital wards

Will relieve nurses of certain drug-related duties

Will make it possible for the physician, if he so wishes, to discuss drug usage with the pharmacist at the time the decision is being made

Will provide students with experience in applying classroom knowledge to practical aspects of drug usage in therapeutic situations

Seperti apa kesan-kesan yang muncul  ketika program ini pertama kali dilaksanakan?

Bu Koda Kimble menggambarkan sebagai berikut :

Physician confusion

Pharmacist presence on the wards

Pharmacist intrusion on drug prescribing

Dokter-dokter agak bingung, “ lho… kok apoteker masuk ke bangsal-bangsal?” Kok apoteker ikut campur urusan peresepan obat ya ?”

Nurse enthusiasm

Quick access to medicines

Pharmacist drug expertise

Tapi para perawat malah senang dan antusias, karena mereka bisa lebih cepat mendapatkan pelayanan obat, sudah siap pakai lagi, karena disiapkan oleh apotekernya. Perawat juga merasakan bahwa urusan obat memang keahliannya apoteker, jadi mereka bisa lebih focus pada perawatan pasien.

Pharmacist exhaustion

Long hours, rapidly expanding roles, new knowledge

“Continual mental pressure to perform at a very high level at all times.”

Tapi apotekernya lumayan kecapekan….. waktu kerjanya jadi lebih lama, perannya jadi bertambah dan berubah dengan cepat, perlu pengetahuan baru. Selain itu juga terdapat semacam tekanan mental juga, karena mereka mesti berada pada kondisi prima dalam pelayanan. Mesti siap setiap kali dibutuhkan.

Visitors dubious

Impressed

An “ivory tower” phenomenon

Pasien atau pengunjung masih ragu-ragu, tapi mereka terkesan. Apoteker yang semula seperti ada di “menara gading” kini mulai turun ke bumi……

Singkat cerita, setelah melalui perjuangan yang berdarah-darah, maka kini profesi apoteker mendapat tempat yang sangat layak di sana. Dan “gerakan” farmasi klinik ini makin menyebar luas ke berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia. Sayangnya, nampaknya wacana farmasi klinik ini belum banyak dipahami, apalagi diterima, oleh sejawat dokter. Mereka memandang apoteker tidak perlu ikut-ikut campur menemui pasien. Apalagi turut dalam proses terapi. Persis deh..kayak dokter-dokter jaman dulu di Amerika hehe…… (jadi kayaknya kita nih hidup seperti keadaan di AS 50-an tahun yang lalu…). Tapi tentunya apoteker juga harus introspeksi….   jangan berharap dokter bisa segera menerima keberadaan apoteker, kalau performa apoteker sendiri masih meragukan….. jangan-jangan apotekernya sendiri  juga belum siap berubah dan mengambil peran baru yang lebih signifikan dalam pelayanan pada pasien. Haloo, bagaimana nih sejawat ??

Nah, seperti yang sering disebut-sebut, maka filosofi pelayanan farmasi klinik adalah “pharmaceutical care” (asuhan kefarmasian). Care itu bisa berarti peduli….. artinya, seorang apoteker mesti  peduli dan penuh empati pada pasien, sehingga pasien bisa merasakan manfaat keberadaannya. Asuhan kefarmasian ini sebenarnya bisa dilaksanakan di mana-mana, di RS, apotek, atau di tempat lain. Untuk hal ini, aku punya sedikit cerita.

Kemaren, seorang mahasiswa bimbingan thesisku, bu Nurjanah namanya, datang menemuiku untuk konsultasi thesisnya. Ia mahasiswa S2 Magister Farmasi Klinik berasal dari Sulawesi Tenggara. Oya, thesisnya mengambil topik Kajian penggunaan obat antihipertensi pada pasien jantung di sebuah RS di Kendari. Waktu konsultasi thesis, sempatlah dia ngobrol tentang pengalamannya selama mengerjakan thesis. Katanya, gara-gara dia mengerjakan thesisnya, ia malah sekarang jadi laris dicari pasien untuk konsultasi obat hehe…. Ceritanya, dalam mengambil data, ia langsung mewawancarai pasien. Suatu kali ada pasien subyek penelitiannya yang mengeluhkan bahwa setelah mengkonsumsi sekian macam obat antihipertensi, kok sekarang “ayam jagonya” jadi ngga bisa berkokok lagi, alias impoten. Pasien itu menduga bahwa ada salah satu obat (kebetulan itu adalah spironolakton, suatu diuretik) yang menyebabkan impotensi tadi, dan ia pun berkonsultasi pada apoteker kita tadi, bagaimana jika ia menghentikan obat tersebut, boleh apa tidak. Bu Nurjanah lalu memeriksa macam obat-obat yang diterima pasien, dan ternyata memang ada sejenis antihipertensi golongan beta bloker yang memang sering dilaporkan menyebabkan impotensi. Beliau menyarankan kepada pasien utk berkonsultasi ke dokter, bagaimana jika mengurangi dosis obat tersebut. Apa yang terjadi ? Seminggu kemudian, sang pasien menemui ibu kita tadi dengan sumringah, dan katanya, “.. Terimakasih, bu…. saya sekarang sudah hidup lagi…” hehe……

Aku rasa, ini adalah salah satu bentuk pelayanan kefarmasian yang bisa bermanfaat bagi pasien. Aku turut bangga, teman-teman sejawat sudah mulai banyak menggunakan ilmunya untuk membantu pasien, yang pada gilirannya akan memberikan kesan positif terhadap keberadaan apoteker. Dan apoteker di Sulawesi Tenggara bolehlah dicontoh semangatnya, katanya saat ini sedang memperjuangkan untuk mendapatkan insentif dari Gubenur dengan besaran yang sama dengan dokter dan dokter gigi, tentunya setelah kinerjanya memberikan asuhan kerfarmasian dirasakan gunanya. Dan satu hal lagi… Kepala Dinas Kesehatannya apoteker loo…!

Jadi, siapa bilang apoteker tidak diperlukan lagi ?

Kaitannya dengan peranan farmasis klinik dalam menghemat biaya pengobatan pasien, aku juga punya cerita lain. Tapi kali ini berasal dari penelitian sejawat, yaitu bu Fita. Penelitiannya menjumpai bahwa ternyata banyak “unnecessary drug therapy” yang dijumpai di RS. Oya, untuk menentukan bahwa suatu obat benar-benar diperlukan pasien atau tidak, beliau bekerja sama dengan klinisi (dokter) senior untuk meng-assess, yaitu dengan mengamati kondisi medis riil pasien dan mengecek obat-obatan yang digunakan. Dan begitulah…. ternyata banyak obat yang diresepkan yang sebenernya tidak benar-benar diperlukan, dan jika itu dikonversi ke biaya, tenyata banyak biaya-biaya pemborosan yang mungkin memberatkan pasien. Kalau saja farmasi kliniknya sudah aktif, dokternya mau bekerja sama dengan apoteker dalam proses  terapi pasien, mungkin akan banyak biaya-biaya yang bisa dihemat. That’s still a dream…… I hope it will come true….

O,ya… paragraf bagian sini adalah iklan hehe…… Sebagai pengelola program Magister Farmasi Klinik UGM, kami mengundang sejawat untuk sama-sama menambah bekal ilmu dan meningkatkan ke-pede-an dengan belajar di Magister Farmasi Klinik UGM, supaya nanti bisa lebih pede dan profesional dalam menjalankan pekerjaan kefarmasiannya. Farmasis klinik, gitu loh…… !!  Keterangan lebih lanjut, klik disini hehe…..

Dah dulu yaaa……





World Class Faculty = menghasilkan apoteker profesional?

7 01 2009

Satu paragraf tulisan mas Dani di Portal Apoteker tentang sekolah apoteker cukup menggerakkan tanganku untuk menulis (eh… mengetik). Soalnya aku lagi merasa relevan banget dengan hal ini…..

Mereka yang ada di perguruan tinggi cenderung lebih menonjolkan profesinya sebagai dosen, karena faktanya memang demikian, dan tidak ingat akan masalah masalah aktual di lapangan yang dialami oleh mantan mahasiswanya. Kalau mau jujur apoteker yang baru lulus sebenarnya belum siap untuk bekerja. Apalagi di apotek.”

Sebetulnya yang akan aku sampaikan bukan substansi apa yang ditulis dalam posting itu, tetapi sedikit bergeser ke arah pertanyaan yang menjadi judul posting ini. Betul sekali bahwa pemegang ijazah apoteker yang bekerja menjadi dosen memang lebih menonjolkan profesi dosennya, daripada apoteker. Seperti halnya pada diriku sendiri. Tapi kalau aku sih sebenernya  lebih karena merasa “minder”…. karena memang tidak praktek, sehingga memang tidak tau banyak aneka kondisi faktual di lapangan. Informasi dari lapangan lebih sering kuperoleh secara tidak langsung dengan berinteraksi dengan sejawat dalam berbagai even kegiatan.  Jadi daripada merasa diri sebagai apoteker, tapi nggak tau banyak tentang praktek kefarmasian, mendingan ngaku jadi dosen hehe….. Kalau sebagai dosen beranilah diadu hehe…. jelek-jelek gini aku pernah tiga kali memenangi grant untuk inovasi metode pembelajaran di UGM..

Nah, .. yang sedang ada dalam pikiranku adalah … aku justru agak kuatir bahwa misi yang diusung  institusi pendidikan (dalam hal ini farmasi) makin menjauh dari bumi. Tau tidak teman,…. beberapa hari ini aku sedang “bertapa” sampai-sampai tidak sempat ngeblog… karena sedang ikut menyusun sebuah proposal pengembangan fakultas yang in line dengan visi dan misi universitas, yakni menjadi World Class Research University (WCRU), atau… Universitas Riset Berkelas Dunia gitu loh…!  Fakultas Farmasi UGM juga akan menuju Fakultas yang (kalau bisa) bertaraf internasional. Impiannya adalah Fakultas Farmasi UGM akan dikenal secara internasional, memiliki kelas internasional dengan banyak foreign students, kami akan memiliki laboratorium berkelas (mendekati) internasional, menghasilkan penelitian-penelitian berkelas dunia, dengan staf edukatifnya yang recognized  di dunia (dan akhirat), dan seterusnya dan seterusnya yang meningkatkan reputasi Universitas Gadjah Mada di mata internasional.

Tapi kalau lagi baca centang-perenang masalah-masalah keprofesian farmasi di Indonesia seperti yang dipaparkan oleh sejawat pada Portal Apoteker, aku jadi bertanya sendiri… apakah pendidikan tinggi farmasi yang ada di Indonesia memang belum bisa mendidik apoteker untuk siap bekerja dan memiliki kompetensi yang diharapkan? yang punya semangat “pharmaceutical care” sehingga mau bekerja profesional walaupun belum mendapat apresiasi wajar secara finansial? memiliki etika keprofesian sehingga bermartabat di mata masyarakat dan tenaga kesehatan lainnya? Yang bisa duduk sama tinggi dan dihargai profesi lain? Kok kayaknya profesi apoteker nih nggak segera naik-naik pangkat menjadi profesi pilihan para calon mertua….. (ini adalah salah satu indikator eksistensi suatu profesi di mata masyarakat he he…)

Dengan mengejar visinya menjadi institusi pendidikan berkelas dunia, akankah signifikan menghasilkan apoteker-apoteker berkelas juga seperti yang diidamkan? Aku belum yakin. Jangan-jangan apoteker kita over-educated dalam hal tertentu, tapi tetap saja tidak siap menghadapi kondisi di lapangan? Kami yang di dunia pendidikan juga perlu introspeksi apakah apa yang diberikan selama ini sudah cukup memberikan bekal pada lulusan untuk siap bersaing di dunia kerja dan memenangkan pertarungan… 

Tapi mungkin dengan menaikkan level fakultas menjadi “Fakultas berkelas dunia (dan akhirat)”  mudah-mudahan akan lebih memberikan rasa percaya diri pada lulusannya, sehingga bisa lebih siap secara psikologis untuk memasuki dunia kerja. Syukur juga bisa diterima bekerja di negara-negara lain sebagai konsekwensi era perdagangan bebas nantinya..

Tentunya perlu ada jalinan erat antara pihak-pihak yang ada di dunia pendidikan dengan organisasi profesi supaya memiliki kesamaan pandang mengenai apa-apa yang harus dilakukan untuk mencapai kondisi eksistensi apoteker yang diharapkan. Dalam hal lain, mungkin organisasi profesi juga perlu memperbanyak upaya untuk menjalin kerjasama dengan profesi tenaga kesehatan lainnya, sehingga apa dan siapa apoteker itu benar-benar dikenali sehingga akan ditempatkan di tempat yang layak di sisinya… maksudnya di antara sesama tenaga kesehatan.

Tapi ma’aaaf….. saya juga cuma bisa nulis doang…

Dan sekarang akan masuk pertapaan lagi menyelesaikan proposal yang terpenggal…..





Tulisan akhir tahun (tentang apoteker)

31 12 2008

Dear netter,

Bela-belain aku nulis hari ini supaya ada monumen tulisan akhir tahun he..he….

Tapi sebenernya sih isinya ngalor-ngidul saja… Yang  jelas, hari ini aku merasa tersanjung…. seorang senior Apoteker memberikan apresiasi terhadap tulisan di blog ini dan me-link-kan blog alakadarnya ini pada blog-nya yaitu Portal Apoteker.  Akupun memberikan link di blog ini bagi Portal Apoteker pada Situs Khusus Apoteker. Silakan dikunjungi. (Thanks, Mas Dani, … tapi nanti kalo blog ini mulai ngaco isinya, nggak usah segan-segan didelete aja link-nya, Mas. Bener…). Sungguh, aku pun mengapresiasi dengan sepuluh jempol ke atas terhadap Blog Portal Apoteker yang memang menjadi media berbagi untuk sejawat apoteker Indonesia di seluruh dunia. Tulisan-tulisan kritisnya terhadap berbagai hal menyangkut profesi apoteker wajib  dibaca..  Suerr !

Tapi ngomong-ngomong soal profesi apoteker,… aku jadi malu sendiri. Apakah aku seorang apoteker beneran? Bukan juga…. aku memang punya ijazah apoteker, tapi tidak praktek kefarmasian. Kalau ditanya profesiku apa, ya mungkin akan aku bilang “dosen” atau “guru”. Dosen yang apoteker atau apoteker yang dosen, entahlah… mana yang lebih tepat. Pernah juga sih, ada yang tanya, mengapa aku tidak pegang Apotek atau punya Apotek. Wah…. terus terang, alasan utamanya adalah waktu. Tugas menjadi dosen, apalagi pingin jadi dosen yang baik hehe…, sudah cukup menyita waktu. Sementara, apoteker itu idealnya juga selalu ada di apotek memberikan pelayanannya. Hal ini tentu sulit sekali dicapai jika bekerja di dua tempat. Belum lagi tugas domestik rumah tangga sebagai seorang ibu…… hmm….  tak kurang banyaknya. Tapi setidaknya, aku juga berupaya menjunjung tinggi profesi apoteker dan sekaligus “mempraktekkan” sedikit ilmu kefarmasian, setidaknya melalui blog ini, atau ketika memberi kuliah atau menjadi pemateri di suatu seminar.

Dan blog ini…. aduh, sungguh masih jauh untuk berkontribusi terhadap perkembangan profesi apoteker. Karena ini adalah blog pribadi, jadinya lebih banyak ngobrol ngalor-ngidul, ngomongin pengalaman pribadi, atau bicara ala kadarnya sekedar menumpahkan keinginan menulis…  Jadi malu kalau diharapkan terlalu banyak. Tapi siapa tau ada yang bisa mengambil manfaatnya dari tulisan di blog ini.  Blog ini tidak punya misi khusus, jadi isinya memang campur-campur. Kadang tulisan sebagai apoteker, kadang sebagai dosen, kadang sebagai ibu, kadang sebagai manusia kecil di hadapan Tuhannya….. dan apa saja lah yang lagi melintas di pikiran.  Kalaupun ada manfaatnya bagi sejawat apoteker, mungkin bisa melalui bahan-bahan kuliah di Fakultas, terutama untuk topik-topik farmakoterapi, paling tidak sebagai refreshing.  Jelek-jelek gini, pernah juga sih saya diundang untuk mengisi acara sejawat ISFI di daerah untuk Pendidikan Berkelanjutan untuk Apoteker. Juga beberapa kali mengisi Pelatihan Farmasi Klinik dan jadi pemateri pada PUKA (Penataran dan Uji Kompetensi Apoteker). Makalah-makalah presentasi saya tadi Insya Allah akan diupload bertahap untuk bisa dimanfaatkan sejawat dan juga adik-adik mahasiswa. Tapi untuk itu perlu kunjungi blog saya di http://zulliesikawati.staff.ugm.ac.id/?page_id=98 , karena dari blog ini agak sulit untuk mendownload (butuh waktu lebih lama karena muter dulu ke situs lain). Tapi kalau ternyata belum sempet diupload  jangan kecewa, ya…. sering-sering aja ditengok hehe…..

Nah, … terkait dengan profesi apoteker, ada satu komentar yang pernah aku dapatkan ketika mempostingkan tentang ” Somadryl sebagai obat kuat wanita”…. Katanya (aku kutip sesuai aslinya),” kayaknya apoteker itu lebih pinter mengobati daripada dokter deh, setuju g bu?”…. (dari theRons, http://ronirizqi.wordpress.com). He..he… pasti bisa jadi sumber polemik nih kalau Cak Moki baca… (bercanda). Terlepas dari serius atau tidak komentar tadi, tapi pada intinya peran apoteker dalam proses terapi memang belum banyak diterima atau diketahui banyak kalangan…. Padahal mahasiswa Farmasi UGM jaman sekarang (mulai angkatan 2001, yang memilih minat Farmasi Klinik dan Komunitas) mendapatkan pelajaran Farmakoterapi sampai 10 SKS kuliah dan 5 SKS praktikum. Jadi apoteker pun punya ilmunya. Tapi memang dari segi kewenangan, Apoteker sejauh ini tidak berwenang dalam menentukan macam terapi yang diberikan kepada pasien, walaupun ia boleh memberi saran atau rekomendasi kepada dokter untuk suatu pilihan terapi atau dosis yang sesuai. Masalahnya adalah, dokternya mau apa tidak menerima saran tersebut. Biasanya ada semacam “gengsi”, atau bahkan ada rasa semacam “diintervensi”….. Padahal, sebenernya pekerjaan dokter bisa lebih ringan lho… kalau misalnya ia mau berbagi peran dengan apoteker untuk memilihkan jenis obatnya, karena ilmu apoteker tentang obat dan berbagai efek dan adverse efeknya tentunya lebih daripada dokter.

Sebagai contohnya, ini cerita nyata lho… kebetulan aku pernah membimbing satu skripsi mahasiswa tentang “Kajian penatalaksanaan rhinitis alergi di sebuah RS”. Data mencatat bahwa beberapa orang pasien mendapatkan obat dari dokter yang sama, dengan nama paten yang berbeda padahal isinya sama!!. Ada juga yang mendapat obat paten dan generik bersama-sama, padahal isinya sama!! Coba, siapa yang salah? Apakah dokternya, yang hanya hafal nama paten yang disodorkan oleh detailer, sehingga tidak tau bahwa isinya sama? Apakah apotekernya? Kalau mau fair, apoteker ya ikut salah, kalau sampai komposisi obat demikian bisa sampai ditangan pasien. Di mana fungsi penjaminannya sehingga terjadi duplikasi obat seperti itu?? Masih untung “cuma” obat alergi/antihistamin…. coba kalau obat diabetes misalnya, apa ngga pasiennya syok hipoglikemik karena gula darah turun drastis karena makan obat antidiabetes dobel?

Perlu tahapan yang panjang untuk bisa mencapai sinergi dokter-apoteker seperti yang sudah terjadi di negara-negara maju. Alih-alih merasa dibantu, malah ada sebagian dokter menganggap bahwa farmasis klinik akan berperan seperti “polisi”, yang akan mencari-cari kesalahan peresepan dokter. Oh, no, no! Tentu tidak demikian. Kita semua kan manusia yang bisa salah atau alpa. Dan saya rasa kita memang perlu saling bekerja sama, yang semuanya ditujukan untuk kepentingan pasien. Itu saja.

Nah, kayaknya memang peran apoteker perlu ditingkatkan supaya lebih menjamin keamanan pengobatan pada pasien. Buat netter yang “orang awam”, tidak perlu ragu-ragu jika ingin menanyakan sesuatu terkait dengan obat kepada apoteker. Cari saja tuh apotekernya di apotek. Dan tentunya sejawat apoteker juga perlu menyiapkan diri untuk mengambil peran itu…. Kesan pertama yang positif, akan membantu memposisikan apoteker di mata masyarakat…





Dokter – apoteker : cs apa vs ?

27 10 2008

Dear netters,

Apa yang Anda ketahui tentang profesi Apoteker? Tukang bikin obat? Tukang jualan obat? Atau.. barangkali Anda tidak tahu sama sekali tentang apoteker. Yah, Anda tidak salah, bahkan jika Anda tidak kenal profesi Apoteker. Sejak dulu,  Apoteker, atau Farmasis, memang dikenal sebagai pembuat obat di pabrik, atau penjual obat di apotek. Tapi sebenarnya, kebisaan apoteker tidak hanya itu. Bermula di negara maju seperti Amerika dan Inggris, pada dua dasawarsa teakhir, orientasi kegiatan farmasis/apoteker telah bergeser dari berorientasi produk menjadi berorientasi pasien. Artinya bahwa pelayanan farmasi tidak sebatas membuat atau menjual obat saja, tapi juga memastikan bahwa pasien menggunakan obatnya dengan tepat dan benar. Hal ini dapat dicapai dengan memberikan informasi dan edukasi seluas-luasnya pada pasien dan masyarakat mengenai penggunaan obat yang benar. Informasi dan edukasi ini bisa dilakukan dengan berbagai cara. Bisa di apotek, rumah sakit, lewat media massa, atau cara apa saja. Sementara itu, di rumah sakit, mulai tampil apoteker dengan “wajah baru” yaitu sebagai farmasis klinik. Yakni, apoteker yang memiliki keahlian klinik dan terlibat dalam tim kesehatan di rumah sakit untuk memantau terapi dan pengobatan pasien, guna memastikan bahwa pasien mendapatkan pengobatan yang tepat, aman dari efek samping, dan ekonomis. Di Indonesia, profesi farmasis klinik mulai menggeliat, walau masih perlu meniti jalan panjang.


Untuk itu, apoteker perlu bisa bekerja sama dengan tenaga kesehatan yang lain, termasuk dengan dokter.
Konsep kolaborasi dengan tenaga kesehatan yang lain relatif masih cukup baru bagi farmasi, dibanding bagi perawat misalnya, yang telah mengenal konsep tersebut sejak lama dan hal itu mudah ditemukan dalam berbagai literatur ilmu keperawatan. Tidak kurang di AS sendiri, hubungan antara dokter dan Apoteker belum mencapai taraf yang ideal. Usaha-usaha untuk menyakinkan dokter untuk memanfaatkan keahlian Apoteker dalam membantu memanage terapi pasien masih belum sepenuhnya berhasil. Tulisan ini mencoba menyoroti hubungan dokter-apoteker, yang mestinya jadi cs bukannya vs, kawan bukannya lawan.


Dalam sebuah publikasinya, McDonough dan Doucette (2001) mengusulkan satu model untuk Hubungan Kerja Kolaboratif antara Dokter dan Apoteker (Pharmacist-Phycisian Collaborative Working Relationship. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi hubungan ini antara lain disebutkan:

a.    Karakteristik partisipan. Yang termasuk karakteristik partisipan adalah faktor demografi seperti pendidikan dan usia. Contohnya, dokter muda yang sejak awal dididik untuk dapat bekerja sama dalam tim interdisipliner mungkin akan lebih mudah menerima konsep hubungan dokter-Apoteker.

b.    Karakteristik konteks. Yang dimaksud adalah kondisi pasien, tipe praktek (apakah tunggal atau bersama), kedekatan jarak praktek, banyaknya interaksi, akan menentukan seberapa intensif hubungan yang akan terjalin.

c.    Karakteristik pertukaran. Yang termasuk di sini antara lain adalah: ketertarikan secara profesional, komunikasi yang terbuka dan dua arah, kerjasama yang seimbang, penilaian terhadap performance, konflik dan resolusinya. Semakin seimbang pertukaran antara kedua belah pihak, akan memungkinkan hubungan kolaboratif yang lebih baik.

Bagaimana memulai suatu hubungan kerjasama yang kolaboratif antara dokter dan Apoteker? Menurut McDonough dan Doucette (2001) ada 4 tahap stage hubungan.

Stage 0 : Professional awareness.
Ini adalah stage awal, di mana masing-masing profesi saling mengenal dan mengetahui. Hubungannya masih “alamiah”, hanya sebatas Apoteker menerima resep dari dokter, kemudian dispensing. Apoteker mengontak dokter jika terjadi hal-hal tidak jelas yang terkait dengan resep (dosis, nama obat, dsb), dan menjawab pertanyaan tentang infomasi obat. Tidak ada diskusi lebih lanjut apakah obat telah memberikan hasil optimal kepada pasien.
Mestinya Apoteker tidak boleh puas hanya dengan stage tersebut, walau dianggap lebih aman secara profesional. Apoteker perlu meningkatkan peranannya untuk mencapai pada stage 1.

Stage 1 : Professional recognition.
Pada awalnya, usaha untuk meningkatkan frekuensi dan kualitas hubungan dokter-Apoteker cenderung unilateral, dengan Apoteker yang harus memulai. Apoteker perlu berusaha untuk membuat dokter menjadi paham tentang apa-apa yang bisa “disumbangkan” Apoteker terhadap pelayanan pasien, misalnya menunjukkan keahliannya dalam memberikan informasi obat yang up to date, memberikan alternatif obat untuk kondisi-kondisi khusus pasien, dsb.  Dari situ dokter akan dapat membangun dasar kepercayaan dan menumbuhkan komitmen terhadap hubungan kerjasama dengan Apoteker.Pada stage ini, komunikasi sering merupakan tantangan tersendiri. Jangan sampai terjadi miskomunikasi bahwa seolah-olah Apoteker akan “mengintervensi” wewenang dokter dalam memilih obat atau akan menjadi “polisi” yang akan mengawasi pengobatan oleh dokter. Justru perlu ditekankan bahwa Apoteker adalah mitra yang akan membantu dokter sesuai dengan kewenangannya, demi tercapainya pengobatan pasien yang optimal.
Pada stage ini dapat dirumuskan mengenai bentuk kerjasama, bagaimana cara komunikasinya, bagaimana protokolnya, dan dibuat suatu kesepakatan.

Stage 2: exploration and trial.
Setelah hubungan kerjasama disepakati untuk berlanjut, masuklah pada stage ke 2. Pada stage ini partisipan (dokter dan Apoteker) akan menguji kekompakan, harapan, kepercayaan dan komitmen mereka terhadap hubungan kerjasama. Dokter mungkin akan memutuskan untuk merujuk pasien ke Apoteker untuk hal-hal yang terkait dengan obat, misalnya penyesuaian dosis dan konseling obat, dan mengevaluasi kompetensi Apoteker untuk memutuskan apakah kerjasama ini cukup bermanfaat dan dapat dilanjutkan. Sebaliknya Apoteker juga dapat menilai apakah dokter tersebut dapat diajak bekerja sama yang positif.Pada fase ini, jika harapan dokter terhadap Apoteker terpenuhi, dokter akan memberikan kepercayaan kepada Apoteker untuk meneruskan kerjasama untuk bersama-sama memberikan pelayanan yang terbaik pada pasien. Sebaliknya jika ternyata harapan masing-masing tidak terpenuhi dari adanya hubungan ini, maka hubungan kerjasama mungkin akan berakhir.
Jika dokter dan Apoteker telah melihat dan mendapatkan manfaat kerjasama mereka dari stage exploration and trial, maka mereka dapat meningkatkan dan memperluas kerjasama profesional tersebut dan sampai ke stage 3.

Stage 3: professional relationship expansion.
Pada stage ini kuncinya adalah komunikasi, pengembangan norma/aturan yang disepakati, penilaian performance, dan resolusi konflik. Pada fase ini the exchange efforts masih belum seimbang, dengan Apoteker perlu secara kontinyu mengkomunikasikan mengenai manfaat bagi pasien yang mendapat pelayanan farmasi yang tepat. Jika performance Apoteker sesuai dengan ekspektasi dokter, dokter dan Apoteker secara pelan-pelan akan memantapkan lingkup dan kedalaman saling ketergantungan (interdependence) mereka. Tujuannya adalah memelihara atau meningkatkan kualitas pertukaran sehingga hubungan profesional dapat terus dikembangkan

Stage 4: commitment to the collaborative working relationship.
Kolaborasi akan semakin mungkin terwujud jika dokter telah melihat bahwa dengan adanya kerjasama dengan Apoteker resiko praktek pelayanannya menjadi lebih kecil, dan banyak nilai tambah yang diperoleh dari kepuasan pasien. Komitmen akan lebih mungkin tercapai jika usaha dan keinginan bekerjasama dari masing-masing pihak relatif sama. Dokter akan mengandalkan pengetahuan dan keahlian Apoteker mengenai obat-obatan, sementara Apoteker akan bersandar pada informasi klinis yang diberikan oleh dokter ketika akan membantu memanage terapi pasien. Pada stage ini pertemuan tatap muka untuk mendiskusikan masalah pasien, masalah-masalah pelayanan, dan hal-hal lain harus dijadwalkan, dan bisa dikembangkan bersama tenaga kesehatan yang lain. Selain itu adanya komitmen kerjasama ini perlu diinformasikan kepada tenaga kesehatan yang lain sehingga mereka dapat turut terlibat di dalamnya.

Demikian model kolaborasi antar tenaga kesehatan, khususnya antara dokter dan Apoteker. Tentunya masih diperlukan waktu untuk bisa sampai pada tingkat yang diiinginkan. Bagi Apoteker sendiri perlu selalu meningkatkan pengetahuan dan keahlian, meng-update diri  terhadap informasi-informasi kesehatan yang sangat cepat berkembang, sehingga mendapat kepercayaan dari tenaga kesehatan lain sebagai tenaga yang berkompeten dalam hal obat dan pengobatan.

Selamat mencoba!