Bagaimana cara menggunakan obat di bulan Ramadhan?

1 07 2014

Dear kawan,

minum obatBulan Ramadhan telah datang lagi. Umat Islam menyambut dengan suka cita akan hadirnya bulan suci karena teringat janji pahala berlipat ganda dari Allah SWT,  bagi yang ikhlas dan bersungguh-sungguh menjalani ibadahnya. Sehingga meskipun Islam membolehkan orang yang sedang sakit untuk tidak berpuasa, sebagian ummat bahkan ada yang tetap ingin menjalankan ibadah puasa Ramadhan walaupun memiliki gangguan kesehatan dan harus menggunakan obat secara rutin. Lalu bagaimana cara mengatur waktu minum obat pada saat puasa supaya tidak mengganggu hasil terapi yang diharapkan? Artikel ini mencoba mengupas cara penggunaan obat selama bulan Ramadhan.

Penggunaan obat yang tidak membatalkan puasa

Tidak semua penggunaan obat membatalkan puasa, yaitu dalam bentuk yang tidak diminum melalui mulut dan masuk saluran cerna. Dalam sebuah seminar medis-religius yang diselenggarakan di Marokko, tahun 1997, para ahli medis maupun agama sepakat bahwa beberapa bentuk sediaan obat di bawah ini tidak membatalkan puasa, antara lain:

  1. Tetes mata dan telinga
  2. Obat-obat yang diabsorpsi melalui kulit (salep, krim, plester)
  3. Obat yang digunakan melalui vagina, seperti suppositoria
  4. Obat-obat yang disuntikkan, baik melalui kulit, otot, sendi, dan vena, kecuali pemberian makanan via intravena
  5. Pemberian gas oksigen dan anestesi
  6. Obat yang diselipkan di bawah lidah (seperti nitrogliserin untuk angina pectoris)
  7. Obat kumur, sejauh tidak tertelan

Bagaimana penggunaan obat minum saat puasa?

Jadwal waktu minum obat mau tak mau harus berubah saat bulan Ramadhan buat mereka yang ingin tetap berpuasa. Obat hanya bisa diminum selepas buka puasa sampai sebelum subuh saat sahur. Perubahan jadwal waktu minum obat mungkin dapat mempengaruhi nasib obat dalam tubuh (farmakokinetika obat), yang nantinya bisa mempengaruhi efek terapi obat. Karena itu perlu kehati-hatian dalam merubah jadwal minum obat. Konsultasikan dengan dokter atau apoteker Anda. Untuk obat-obat yang diminum sekali sehari dan kebetulan diminum pada malam hari tentu tidak ada perbedaan yang berarti ketika digunakan saat bulan Ramadhan. Demikian pula yang diminum sekali sehari pada pagi hari, dapat diminum saat sahur tanpa perubahan efek yang signifikan. Sedangkan untuk obat yang digunakan dua kali sehari, disarankan untuk diminum pada saat sahur dan saat berbuka.

Bagaimana dengan obat yang harus diminum 3-4 kali sehari?

Untuk pasien yang mendapatkan obat-obat yang harus diminum 3 kali sehari disarankan untuk minta kepada dokternya untuk meresepkan obat bentuk sediaan lepas lambat atau aksi panjang sehingga frekuensi pemakaian bisa dikurangi menjadi sekali atau 2 kali sehari. Atau bisa juga minta diganti dengan obat lain yang masih memiliki efek dan mekanisme sama, tetapi memiliki durasi aksi yang lebih panjang. Sebagai contohnya, obat hipertensi kaptopril yang harus diminum 2-3 kali sehari dapat digantikan oleh lisinopril yang digunakan sekali sehari. Atau misalnya ibuprofen, suatu obat anti radang, bisa digantikan dengan piroxicam atau meloxicam yang bisa diminum sekali sehari.

Jika tidak bisa diganti, maka penggunaannya adalah dari waktu buka puasa hingga sahur, yang sebaiknya dibagi dalam interval waktu yang sama. Misalnya untuk obat dengan dosis 3 kali sehari, maka dapat diberikan dengan interval waktu 5 jam, yaitu pada sekitar pukul 18.00 (saat buka puasa), pukul 23.00 (menjelang tengah malam), dan pukul 04.00 (saat sahur). Obat yang harus diminum 4 kali sehari dapat diberikan dalam interval 3-4 jam, yaitu pada pukul 18.00, pukul 22.00, pukul 01.00 dan pukul 04.00. Tentu waktunya harus disesuaikan dengan jadwal imsakiah setempat.

Sebagian besar obat dapat diubah jadwalnya seperti ini tanpa mengubah efek terapinya secara signifikan, termasuk penggunaan antibiotika. Namun kelihatannya agak sulit jika harus minum obat di malam hari, apalagi 4 kali. Jika perlu gunakan alarm untuk membangunkan tidur. Tetapi jika ini  memberatkan pasien dan bisa menyebabkan ketidakpatuhan minum obat,  tentu perlu dipertimbangkan, apalagi jika pasien memang harus teratur minum obat seperti antibiotika. Mungkin jaman sekarang sudah jarang  obat yang harus diminum 4 kali sehari, karena akan mempengaruhi kepatuhan pasien. Sekali lagi, pada dasarnya bagi yang sakit ada keringanan dari agama untuk tidak berpuasa. Sehingga untuk yang terlalu berat dengan pengaturan ini, mungkin tidak harus berpuasa.

Bagaimana dengan penggunaan obat sebelum dan sesudah makan?

Obat dapat berinteraksi dengan makanan, yang berarti adanya makanan dapat mempengaruhi efek obat. Ada obat-obat yang baik digunakan sebelum makan karena absorpsinya lebih baik pada saat lambung kosong, dan ada yang sebaliknya, diminum setelah makan karena dapat menyebabkan iritasi lambung atau lebih baik penyerapannya jika ada makanan. Selama bulan Ramadhan, perhatikan pula aturan minum obatnya, apakah sesudah atau sebelum makan.

Jika aturannya 1 kali sehari sebelum makan : obat bisa diminum pada saat sahur (setengah jam sebelum makan) atau pada saat berbuka (setengah jam sebelum makan). Gunakan sesuai anjuran, apakah biasanya pagi atau malam. Obat hipertensi misalnya, baiknya diminum pagi hari karena tekanan darah paling tinggi pada pagi hari. Sebaliknya, obat penurun kolesterol sebaiknya diminum malam hari. Usahakan konsisten dengan waktu minumnya, apakah pagi atau malam.

Jika aturannya 1 kali sehari setelah makan, maka obat bisa diminum pada waktu seperti di atas, hanya saja diminumnya kira-kira 5-10 menit setelah makan besar. Setelah makan artinya kondisi lambung berisi makanan.

Untuk penggunaan 2,3 atau 4 kali sehari, pada prinsipnya sama, seperti yang dijelaskan di atas mengenai jam minum obat. Jika diminta sebelum makan berarti sekitar 30 menit sebelum makan. Jika ada obat yang harus diminum tengah malam sesudah makan, maka perut dapat diisi dulu dengan roti atau sedikit nasi sebelum minum obat.

Penggunaan obat pada penyakit kronis di bulan Ramadhan

Beberapa penyakit kronis memerlukan pengobatan terus-menerus, seperti penyakit diabetes, epilepsi, asma, dan hipertensi. Untuk mereka yang tetap ingin berpuasa, perlu dilakukan pemantauan yang lebih ketat terkait dengan perubahan jadwal pemberian obatnya dan kondisi penyakitnya. Berikut akan diulas penggunaan obat dan pemantauan terapi pada penyakit-penyakit kronis tersebut.

Diabetes Melitus (kencing manis)

Secara umum, puasa tidak disarankan bagi penderita diabetes, karena berisiko mengalami hipoglikemia (kurangnya kadar guka darah) pada saat puasa, atau sebaliknya hiperglikemia (kelebihan kadar gula darah) pada saat berbuka puasa. Obat golongan sulfonilurea seperti glibenklamid, gliklazid, dan glimepirid memiliki risiko efek samping hipoglikemi yang besar, sehingga kurang direkomendasikan bagi pasien diabetes. Sebagai gantinya, pasien dapat menggunakan obat metformin 3 kali sehari, yang pada saat puasa harus diminum 2 dosis pada saat buka puasa dan satu dosis pada saat sahur. Obat semacam acarbose juga relatif aman untuk penderita diabetes, karena kurang menyebabkan hipoglikemi.

Pasien yang tetap menggunakan obat golongan sulfonilurea sekali sehari sebaiknya meminumnya saat buka puasa sebelum makan. Sedangkan untuk yang dua kali sehari, maka obat diminum satu dosis pada saat buka puasa dan setengah dosis pada saat sahur. Namun demikian ada pula ahli yang menyarankan untuk tidak mengkonsumsi obat pada saat sahur karena dikuatirkan mengalami hipoglikemi jika pasien berpuasa. Pada pasien yang menggunakan insulin premix atau aksi sedang 2 kali sehari, perlu dipertimbangkan perubahan ke insulin aksi panjang atau sedang pada sore hari dan insulin aksi pendek bersama makan. Gunakan dosis biasa pada saat berbuka dan setengah dosis pada saat sahur. Usahakan banyak minum pada saat tidak berpuasa untuk menghindari dehidrasi. Pemantauan kadar gula sebaiknya dilakukan lebih kerap dari biasanya. Jika kadar gula turun di bawah 60 mg/dL, pasien disarankan segera berbuka puasa. Juga jika kadar gula terlalu tinggi (> 300 mg/dL), pasien disarankan tidak berpuasa.

Pasien hipertensi, asma dan epilepsi

Pasien dengan penyakit kronis seperti hipertensi, asma dan epilepsi yang harus menggunakan obat secara teratur dapat tetap berpuasa, dengan mengatur waktu minum obatnya pada saat berbuka dan sahur. Minta kepada dokter untuk memberikan obat-obat yang bersifat aksi panjang sehingga cukup diminum sekali atau dua kali sehari. Secara umum kondisi harus tetap dijaga dengan mengatur makanan, misalnya mengurangi garam atau lemak, banyak minum air putih, olahraga secara cukup. Pasien asma dengan penggunaan inhaler secara teratur dapat menggunakan inhalernya pada saat setelah waktu buka puasa dan pada saat sahur. Namun jika diperlukan penggunaan inhaler pada saat serangan akut di siang hari, pasien dapat membatalkan puasanya. Pasien hipertensi perlu memantau tekanan darahnya lebih kerap pada bulan puasa daripada bulan tidak puasa.

Demikian sekilas tentang penggunaan obat pada saat bulan Ramadhan. Sekali lagi Islam membolehkan orang yang sakit untuk tidak berpuasa. Jika sakit Anda cukup berat dan ingin berpuasa, konsultasikan pada dokter Anda apakah boleh berpuasa atau tidak. Tidak perlu memaksakan diri berpuasa jika fisik tidak mengijinkan.

Selamat berpuasa, semoga amal ibadah Ramadhan kita diterima oleh Allah SWT.  Amiien

Bahan bacaan :

http://care.diabetesjournals.org/content/33/8/1895.long

http://www.khaleejtimes.com/kt-article-display-1.asp?xfile=data/nationgeneral/2013/July/nationgeneral_July104.xml&section=nationgeneral

http://www.bmj.com/content/329/7469/778


Aksi

Information

10 responses

17 05 2018
Penggunaan Obat di Saat Bulan Puasa – ismyama

[…] Obat yang Tidak Membatalkan Puasa Obat-obat dengan bentuk sediaan non oral seperti injeksi (suntik), inhalasi (obat yang dihirup sehingga langsung menuju paru-paru sebagai organ sasaran obat), supposutoria ( lewat anus), dan tetes mata atau tetes telinga diperbolehkan selama puasa. Obat yang diminum 3-4 kali sehari Aturan pakai penggunaan obat memang bermacam-macam. Mulai dari 1x-3xsehari. 4x dan 5xsehari juga ada. Sementara itu aturan pakai ini terkait jarak tiap minum yang seharusnya sama. Misal 3xsehari bukan berarti yang penting minum obat 3x bebas waktunya kapan saja. Interval waktu yang dimaksud adalah tiap 8 jam. Interval pemberian obat ini berkaitan dengan ketersediaan obat di dalam darah. Obat yang jumlah di dalam darahnya tepat (di atas batas minimal memberikan efek, atau di jumlahnya berada pada range terapi) maka obat tersebut dapat memberikan efek yang diinginkan. Interval pemberian obat ini dipengaruhi oleh jenis dan sifat obat. Salah satunya yaitu dipengaruhi oleh waktu paruh obat. Obat yang waktu paruhnya panjang, maka interval minum obatnya panjang (misal cukup 1xsehari). Sedangkan obat yang waktu paruhnya pendek, maka interval minum obatnya juga pendek. Dengan kata lain, obat perlu diminum lebih sering agar ketersediaannya dalam darah tetap memberikan efek. Sedangkan untuk jenis obat misalnya sustained release /lepas lambat (obat yang pelepasannya berangsur-angsur, secara terus menerus sehingga kadar obat dalam darah tetap di range terapi untuk memberikan efek) atau long acting /aksi panjang (formulasi obat yang berefek lebih lama dengan aturan pakai biasanya cukup 1x sehari). Obat-obat jenis ini berupa unit dosis tunggal yang zat aktifnya lepas secara terus-menerus. Dengan begitu, tidak perlu berkali-kali minum obat. Ketika puasa Ramadhan tiba, interval minum obat tiap 8 jam ini menjadi tidak bisa dilakukan lagi. Akibatnya apa? Jika pasien memaksakan diri untuk minum obat dengan interval yang berbeda-beda (misal minum obat ketika buka puasa jam 6 malam, sebelum tidur jam 11 malam, sahur jam 4 pagi), maka ada waktu dimana obat menumpuk (interval terlalu cepat hanya selisih 5 jam) sehingga bisa menimbulkan efek samping. Dan ada waktu dimana interval berikutnya terlalu panjang selisih 14 jam) sehingga kadar obat sudah terlanjur turun. Akibatnya obat menjadi tidak berefek. Apalagi bila obatnya adalah antibiotik. Duh, sama saja akan menyebabkan terjadinya resistensi antibiotik. Terutama untuk antibiotik yang time dependent (kadar obat dalam darahnya tergantung waktu pemberian) Oleh karena itu, yang direkomendasikan adalah memilih obat dengan formula aksi panjang. Misalnya saja obat sustained release. Selain itu, bisa juga mengubah regimen dosis menjadi 1 atau 2x sehari. Misalnya saja pasien dengan hipertensi yang biasanya meminum kaptopril 2-3x sehari dapat meminta penggantian obat menjadi lisinopril 1x sehari. Untuk penyesuaian regimen ini, pasien harus berkonsultasi dengan dokter yang merawatnya. Jika tidak memungkinkan, sementara pasien sangat membutuhkan obat tersebut, maka berlaku prinsip risk and benefit sehingga disarankan tidak puasa Ramadhan. Pasien bisa mengganti puasanya di lain waktu ketika sudah sembuh, atau membayar fidyah bila tidak memungkinkan mengganti puasa. Pasien dengan Pengobatan Jangka Pendek Bagi penyakit yang hanya membutuhkan pengobatan jangka pendek, seperti antibiotik untuk infeksi atau NSAID (nonsteroidal anti-inflammatory, misal: ibuprofen, asam mefenamat, natrium diklofenak, dll) untuk antinyeri, sebaiknya dipilih obat yang regimennya 1x sehari. Contohnya untuk antinyeri, daripada meminum asam mefenamat 3x sehari, lebih direkomendasikan obat yang pemberiannya 1x sehari seperti meloksikam atau piroksikam. Alternatif lain adalah dengan mengganti bentuk sediaan obat. Misalnya dalam bentuk patch. Bentuk sediaan yang ditempelkan di kulit jelas membuat pasien tetap bisa berpuasa tanpa khawatir obatnya tidak berefek atau mengakibatkan efek yang tidak diinginkan hanya karena interval pemberian obat yang tidak sesuai. Obat antinyeri bentuk patch biasanya diberikan pada pasien yang tidak mempan dengan obat oral. Misalnya nyeri kronik pada pasien kanker. 1. Pasien Infeksi Bakteri Sebagai contoh pengobatan jangka pendek pada kasus infeksi adalah pasien paska infeksi akut saluran pernapasan atas, seperti sakit tenggorokan berat, secara kasatmata diperbolehkan untuk menjalankan puasa Ramadhan. Tetapi jika pasien ini diresepkan antibiotik dengan aturan pakai 3 atau 4x sehari, maka ia tidak bisa puasa (karena alasan yang sudah saya tulis di atas). Oleh karena itu, agar pasien tetap bisa puasa, pasien dapat diberikan antibiotik long acting/aksi panjang. Misalnya co-trimoxazole yang hanya perlu diminum tiap 12 jam. Atau azitromisin yang interval minum obatnya cukup 1x sehari. Regimen alternatif ini dapat diresepkan oleh dokter, jika bakteri penyebab infeksinya dapat dibasmi dengan antibiotik lain yang interval pemberian obatnya lebih panjang. 2. Pasien dengan Migrain Pasien dengan migrain harus waspada terhadap pencetus penyakitnya. Misalnya saja harus selalu makan sahur, dan tetap terhidrasi sewaktu puasa (jangan melakukan aktivitas yang dapat mengeluarkan banyak keringat), dan hindari udara yang panas atau matahari yang menyengat jika bisa. Pasien dengan Pengobatan Jangka Panjang atau Penyakit Kronis Untuk kondisi khusus yang membutuhkan pengobatan jangka panjang seperti penyakit Parkinson, Jantung, dan Tiroid, ada regimen dosis yang direkomendasikan di saat puasa Ramadhan. Penggantian rute pemberian juga dapat membantu pasien untuk puasa. Sebagai contoh, pasien paska angina pektoris ringan akan mendapat manfaat dengan penggunaan gliseril trinitrat bentuk patch dibandingkan tablet sublingual (diletakkan di bawah lidah). Obat dalam bentuk patch artinya zat aktif langsung masuk ke dalam aliran darah melalui kulit sehingga tidak membatalkan puasa. Tapi contoh ini tetap harus didiskusikan dengan dokter yang merawat dan mungkin hanya bisa dilakukan pada pasien tertentu. Contoh penyakit kronis lainnya adalah diabetes dan hipertensi. Saya akan bahas satu persatu ya. 1. Pasien Diabetes Sementara pasien diabetes tipe 2 yang teredukasi tentang puasa Ramadhan justru dapat turun berat badannya, membaik kontrol gula darahnya, dan terhindar dari hipoglikemi berat. The International Journal of Ramadan Fasting Research merekomendasikan guideline bagi profesional di bidang kesehatan untuk merawat pasien muslim dengan diabetes: ” Pasien diabetes yang terkontrol dengan diet boleh berpuasa dan diharapkan dengan penurunan berat badan, diabetesnya akan membaik. Penderita diabetes yang mengonsumsi agen hipoglikemik oral bersama dengan kontrol diet harus sangat berhati-hati jika mereka memutuskan untuk berpuasa. Pasien-pasien ini harus berkonsultasi dengan dokter yang merawat untuk penyesuaian dosis. Jika mengalami gejala gula darah rendah (hipoglikemi) di siang hari, maka puasanya harus segera diakhiri.” Yang disebut sebagai hipoglikemi adalah jika kadar glukosa darah < 70 mg/dL, atau kadar glukosa darah < 80 mg/dL dengan gejala klinis. Gejala yang dimaksud antara lain mual, pandangan berkunang-kunang, badan lemas, gemetar, keringat dingin, bahkan bisa pingsan. Pasien diabetes dengan hipoglikemi harus segera diberi makanan/minuman manis seperti gula murni 2 sendok makan, air gula, teh manis, permen (yang mengandung gula murni, bukan pemanis pengganti gula/gula diabet) dan makanan yang mengandung karbohidrat. Itu artinya pasien harus segera berbuka puasa. Jika pasien tidak sadarkan diri, maka harus segera dilarikan di rumah sakit untuk mendapatkan infus dextrosa (gula). Selain itu, pasien diabetes yang mengonsumsi insulin harus berkonsultasi dengan dokter untuk melihat apakah dosis obat dapat disesuaikan untuk memungkinkan puasa selama Ramadhan. Dalam semua kasus puasa pada pasien dengan diabetes, kadar gula darah harus dimonitor secara ketat, terutama sebelum dan sesudah makan. Dosis obat yang tidak disesuaikan, dan kurangnya monitoring kadar gula darah secara ketat, dapat mengakibatkan hipoglikemi seperti pada pasien yang rekam medisnya saya baca. Penting bagi keluarga pasien untuk mengawasi keadaan pasien diabetes ketika sedang berpuasa. Untuk rekomendasi regimen penggunaan obat antidiabetes saya kutipkan langsung dari tulisan dosen farmakologi saya ya. “Obat golongan sulfonilurea seperti glibenklamid, gliklazid, dan glimepirid memiliki risiko efek samping hipoglikemi yang besar, sehingga kurang direkomendasikan bagi pasien diabetes. Sebagai gantinya, pasien dapat menggunakan metformin 3x sehari, yang pada saat puasa harus diminum 2 dosis pada saat buka puasa dan satu dosis pada saat sahur. Obat semacam acarbose juga relatif aman untuk penderita diabetes, karena kurang menyebabkan hipoglikemi. Pasien yang tetap menggunakan obat golongan sulfonilurea 2x sehari sebaiknya meminumnya saat buka puasa sebelum makan. Sedangkan untuk yang 2x sehari, maka obat diminum satu dosis pada saat buka puasa dan setengah dosis pada saat sahur. Namun demikian ada pula ahli yang menyarankan untuk tidak mengkonsumsi obat pada saat sahur karena dikuatirkan mengalami hipoglikemi jika pasien berpuasa. Pada pasien yang menggunakan insulin premix atau aksi sedang 2 kali sehari, perlu dipertimbangkan perubahan ke insulin aksi panjang atau sedang pada sore hari dan insulin aksi pendek bersama makan. Gunakan dosis biasa pada saat berbuka dan setengah dosis pada saat sahur. Usahakan banyak minum pada saat tidak berpuasa untuk menghindari dehidrasi. Pemantauan kadar gula sebaiknya dilakukan lebih kerap dari biasanya. Jika kadar gula turun di bawah 60 mg/dL, pasien disarankan segera berbuka puasa. Juga jika kadar gula terlalu tinggi (> 300 mg/dL), pasien disarankan tidak berpuasa.” 2. Pasien Hipertensi Pasien dengan hipertensi juga perlu menjaga agar dirinya tidak dehidrasi, selalu mengecek tekanan darahnya secara rutin, dan mengetahui tanda-tanda hipotensi seperti pusing dan kepala terasa ringan. Pada pasien hipertensi regimen dosis juga perlu sesuaikan. Misalnya saja pada pasien yang meminum obat diuretik. Dosis obat seharusnya dikurangi untuk menghindari dehidrasi, dan formulasi sustained release (lepas lambat) dapat diberikan satu kali sehari sebelum makan menjelang subuh. Obat diuretik memang paling baik diminum pagi hari karena terkait fungsi ginjal. Selain itu, saat pagi pasien juga tidak tidur sehingga tidak ada masalah jika harus buang air kecil. Aturan Pakai Obat Sebelum atau Sesudah Makan Ada obat yang penyerapannya dipengaruhi oleh makanan. Obat yang disarankan untuk diminum sebelum makan berarti penyerapannya lebih baik saat lambung kosong. Sebaliknya, obat yang disarankan untuk diminum sesudah makan, biasanya penyerapannya lebih baik saat ada makanan. Atau bisa menyebabkan iritasi lambung sehingga keberadaan makanan membantu mengurangi efek iritasi tadi. Jika aturannya sebelum makan maka obat bisa diminum pada saat sahur (30 menit sebelum makan) atau pada saat buka puasa (30 menit sebelum makan atau 2 jam sesudah makan). Waktu minum obat harus konsisten. Misal 1x sehari sebelum makan, pasien memilih minum obat sebelum makan sahur, ya hari-hari selanjutnya juga diminum di waktu tersebut. Kecuali jika di etiket dituliskan aturan lain seperti malam hari atau pagi hari. Maka pasien menyesuaikan dengan etiket. Misalnya saja obat-obat kolesterol yang sebaiknya diminum malam hari, maka pasien bisa minum obat dua jam sesudah buka puasa. Secara konsisten di hari selanjutnya juga di waktu yang sama. Sementara itu, jika aturan pakainya adalah setelah makan, maka obat bisa diminum pada saat sahur (5-10 menit setelah makan besar). Atau pada saat buka puasa (5-10 menit setelah berbuka puasa dengan makan besar). Dengan kata lain, lambung terisi oleh makanan. Kalau boleh saya menyimpulkan, Islam memberikan keringanan kepada orang sakit dalam menjalankan puasa selama bulan suci Ramadhan. Pasien boleh berpuasa jika kesehatannya tidak terganggu selama puasa. Dalam hal ini, tentu tetap dibutuhkan penyesuaian dosis atau penggantian regimen atau bentuk sediaan obat. Obat yang dipilih adalah yang sama efektifnya dengan obat sebelumnya. Pasien muslim yang ingin berpuasa, tetap harus memberitahu dokter sehingga puasanya berada dibawah pengawasan tenaga medis, baik dokter, apoteker, dan nakes lainnya. Keluarga pasien juga perlu mendampingi dan mengawasi pasien selama berpuasa. Semoga tulisan saya bermanfaat ya, dan ibadah puasa Ramadhan kita lancar. Untuk pasien yang ingin berpuasa, jangan lupa berkonsultasi dengan dokter. Referensi : Kelly Grindrod, BScPharm, ACPR, PharmD, MSc and Wasem Alsabbagh, BScPharm, PhD. Managing medications during Ramadan fasting. Can Pharm J (Ott). 2017 May-Jun; 150(3): 146–149. Published online 2017 Apr 3. doi: 10.1177/1715163517700840 Saghir Akhtar, PhD, MRPharmS. Fasting during Ramadan: a Muslim pharmacist’s perspective. 10 November 2001. The Pharmaceutical Journal Vol 267 No 7173 p691-692 Ikawati,Zulliez. Bagaimana Cara Menggunakan Obat di Bulan Ramadhan. 1 Juli 2014. https://zulliesikawati.wordpress.com/2014/07/01/bagaimana-cara-menggunakan-obat-di-bulan-ramadhan/ […]

11 05 2018
andi nawawi

Merujuk nya jauh banget ya, sampai ke Marokko 1977,
Pesantren di Indonesia gak bisa diajak diskusi/seminar ya?

8 02 2016
15 06 2015
shiq4

Artikelnya menarik, sayangnya ada beberapa hal yang tidak cocok sehingga lebih baik mengkonsumsi obat pada waktu seperti biasanya.

15 06 2015
Ami

Reblogged this on Ami and the Night and commented:
Pengganti postingan Pharmonday hari ini. Semoga bermanfaat 🙂

1 08 2014
diaryrizkhi

Reblogged this on Diary Rizkhi and commented:
Kalau saya lebih tentang bagaimana manajemen penyakit Asma itu. Silahkan dibaca ulang yaaa…. 😀

17 07 2014
peniindrayudha

re blog ya Prof…. 🙂

Jawab:
Monggo

17 07 2014
peniindrayudha

Reblogged this on sebuah kisah perjalanan and commented:
mohon ijin share ya Prof. Zullies…..

8 07 2014
2 07 2014
Lia

Kalau diuretik utk hipertensi, yg biasanya pagi apa bisa diminum pas sahur bu? Diminum sahur takut dehidrasi, diminum malam mengganggu tidur..

Jawab:
Saya kira kok ngga sampai dehidrasi yaa… memang tujuannya kan mengurangi volume cairan tubuh..

Tinggalkan komentar