Wawancara dengan Harian Jurnal Nasional

9 10 2008

OBAT alam atau obat tradisional sudah beberapa waktu ini dilirik masyarakat sebagai “penyembuh” alternatif. Zullies Ikawati, Pengelola Magister Farmasi Klinik Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada (UGM) memfokuskan diri meneliti hal ini. Walaupun obat alam membudaya di China sejak berabad-abad lalu, namun Zullies mengatakan Indonesia bisa bersaing dengan China dalam hal ini. Sebab, Indonesia kaya tanaman obat, hanya sekarang ini kalah dalam pengolahannya saja dengan China.

Wartawan Jurnal Nasional, Heru Prasetyo, mewawancarai dosen perempuan yang sudah cermerlang sejak ia dulu masih di bangku sekolah dasar dan sekolah menengah ini di kantornya, akhir bulan lalu. Berikut kutipan wawancara dengan dosen dan peneliti dari Universitas Gadjah Mada ini.

1. Kini banyak orang yang melirik atau berpaling ke penggunaan obat alam?
Obat alam memang jauh lebih aman dibanding obat sintetik.

2. Apa sebenarnya perbedaan obat alam dengan obat sintetik?
Obat alam bukannya tidak ada efek sampingnya, tetapi relatif lebih kecil. Senyawa-senyawa di dalamnya memiliki side effect eliminating system, sistem yang bisa mengurangi atau mengeleminisasi efek komponen lain. Pada obat sintetik hanya single compound, terdiri atas senyawa. Efek obat alam tidak secepat obat sintetik. Obat alam dipakai dalam jangka waktu lama. Misalnya jamu, lebih untuk preventif bukan terapi dalam waktu cepat. Potensi obat alam semula hanya empirik, pengalaman dari mulut ke mulut. Padahal, pengalaman bisa berbeda antara satu dengan lainnya. Karena itulah perlu penelitian supaya terbukti secara ilmiah. Sekarang sudah ada tren menggunakan obat-obat dari alam sebagai pengganti obat sintetik yang efek sampingnya jauh lebih besar. Sudah banyak beredar obat berbahan alam. Obat kanker, misalnya, banyak berasal dari bahan alam. Setelah dipastikan efeknya ternyata konstan, akhirnya dikembangkan jadi obat.

3. Bagaimana penelitian obat alam di negeri kita?
Saya rasa sudah cukup intensif. Bahkan, Badan POM pernah mengatakan ada sembilan tanaman obat alam unggulan. Itu kan dari hasil penelitian. Pemerintah sudah mengakomodasi penelitian yang berbasis alam ini untuk dikembangkan. Penelitian ini memerlukan waktu lama. Penelitian obat alam diawali dengan uji pra klinis kepada hewan atau sel tertentu. Kadang pada praklinis terbukti efeknya, tetapi ketika diujikan kepada manusia tidak terbukti. Pada praklinis ada uji toksisitas untuk memastikan aman dipakai manusia. Caranya diujikan kepada hewan terlebih dahulu dengan dosis paling tinggi. Kemudian dilihat ada tidaknya gejala toksik secara makro maupun mikro. Kalau memang tidak toksik, baru boleh diujikan kepada manusia.
Setelah praklinis selesai, kemudian diujikan kepada manusia. Dari yang sakit kemudian yang sehat. Manusia sakit diberi obat itu. Biayanya besar, sampai miliaran rupiah. Sehingga, biasanya harus kerja sama dengan industri. Dalam uji klinis, obat alam tadi dibandingkan dengan placebo yaitu senyawa tanpa efek, misalnya isi serbuk atau tepung. Sama-sama berbentuk kapsul, satu berisi obat dan satunya isi serbuk. Orang yang diuji tidak boleh tahu. Pengujinya kadang juga tidak tahu. Hal itu supaya tidak bias cara melihat efek.

4. Bagaimana jika terjadi risiko?
Harus diawasi dokter. Selain itu, sebelum masuk uji klinis, uji toksisitas harus selesai. Harus dipastikan aman lebih dulu. Uji toksisitas juga ada beberapa tingkat, yaitu akut, subkronis, dan kronis. Obat-obatan yang dipakai untuk waktu lama, harus diuji dalam waktu lama. Misalnya saja, pada subkronis memerlukan waktu 30-90 hari. Sedangkan uji klinis ada empat tahap. Fase satu diberikan kepada 10-15 orang sehat. Fase dua kepada 30-50 orang sakit. Fase tiga kepada ratusan orang sakit sesuai tujuan obat.
Jika pada fase dua atau tiga sudah tidak ada masalah, biasanya Badan POM sudah bisa memberi persetujuan. Fase empat adalah post marketing surveillance. Mungkin saja setelah uji toksisitas maupun klinis 1-3 ada yang tidak terlihat. Fase ini memantau obat selama digunakan. Uji klinis 1-4 biasanya memakan waktu 10-an tahun. Jika harus menyebut nama, Stimuno yang ditemukan sejawat dari Universitas Airlangga adalah contoh obat alam. Isinya tanaman meniran yang digunakan sebagai imuno stimulan. Juga Tensigard untuk antihipertensi.

5. Bagaimana proses obat alam agar diakui secara ilmiah?
Kalau sekadar bahan alam, dokter tidak mau gunakan karena efeknya belum terbukti dan hanya berdasar kata orang. Untuk Stimuno sudah dibuktikan secara klinis, kemudian ada standardisasi ekstrak. Proses ekstraksi sekarang dan besok bisa-bisa hasilnya beda. Harus ada proses standardisasi sebelum sampai ke uji klinis.

6. Bagaimana dengan jamu tradisional?
Di Indonesia ada tiga grade, yaitu jamu, herbal terstandar, dan fitofarmaka. Kalau jamu, kadang hanya tanaman diserbuk, dikemas. Tidak memerlukan standardisasi, tidak perlu uji praklinis dan klinis. Kebanyakan berdasarkan empirik. Dari segi potensi dan keamanan paling rendah. Untuk herbal terstandar, misalnya, temulawak di Purworejo, Bantul, dan lain-lain tidak sama kandungan zat aktifnya. Agar sama harus ada proses standardisasi. Obat tradisional yang sudah terstandardisasi itu namanya herbal terstandar. Ini harus sudah melalui uji praklinis, terbukti secara ilmiah dengan hewan uji. Level paling tinggi adalah fitofarmaka. Nah, ini yang sudah melalui uji klinik. Di Indonesia baru ada 5-7 fitofarmaka, termasuk Stimuno dan Tensigrad tadi.

7. Bagaimana dengan masyarakat pengguna obat alam?
Sekarang banyak orang menyukai obat alam, karena memang jauh lebih aman dibanding obat sintetik. Kita pernah ternoda oleh jamu yang dicampur bahan sintetik. Produk-produk Cilacap yang menurut masyarakat ‘wah kok jos tenan’, sebenarnya dicampur bahan sintetik. Ini sebenarnya kriminal, karena Indonesia tidak membolehkan jamu dicampur obat sintetik. Beda dengan China. Di sana boleh, tapi terbuka. Artinya, dalam bungkus disebutkan kandungan-kandungannya. Ada mahasiswa Fakultas Farmasi UGM melakukan penelitian untuk PKM (Program Kreativitas Mahasiswa) dengan melihat toksisitas suatu jamu Cilacap yang beredar. Benar-benar mengerikan. Tikus yang diberi obat tersebut selama 15 hari, paru-parunya berwarna hitam. Citra jamu menjadi ternoda.

8. Mengapa obat alam China lebih unggul dibandingkan Indonesia?
Promosinya lebih bagus, penelitian juga lebih gencar. Sudah banyak yang mereka teliti. Di sana ada juga fakultas khusus traditional medicine. Indonesia sebenarnya mampu bersaing dengan China. Kita kaya tanaman obat, cuma kita kalah dalam pengolahan. Masalah lain, kebijakan penelitian di sini juga belum akomodatif. Dana menjadi kendala utama, tetapi sumber daya manusia dan alam sangat cukup. Itu bisa diatasi dengan bekerja sama, misalnya dengan universitas luar negeri, badan penelitian, juga dunia industri. Indonesia punya ratusan jenis tanaman obat, tetapi yang dieksplorasi baru sedikit, yang muncul menjadi obat lebih sedikit lagi.

9. Di mana posisi Indonesia di dunia internasional untuk obat tradisional?
Yang unggul China, kemudian India dan Korea. Saya rasa kita nomor empat atau lima. Negara-negara Amerika Selatan juga banyak yang memiliki tanaman obat dan mereka cukup maju juga. Sedangkan di Asia Tenggara kita unggul. Kemudian sekarang Malaysia mulai mengikuti.